Annyeonghaseyo~
Dobibee
posting fanfiction baru setelah sekitar 3 bulan gak posting ff hihi. Kali ini
dengan cast baru yaitu bias utama; Park Chanyeol. Jangan lupa komentar, kritik
dan saran, silent readers go away juseyo. Happy reading ^^
---
Title
: Deserve
Cast
: Park Chanyeol, Shin Hyoseung (OC)
Genre
: Romance
Length
: Oneshoot
Author
: Dobibee
Hyoseung mengamati cincin yang ada
di genggamannya saat ini. Masih segar di ingatannya pada hari dimana seseorang
memberikan benda ini padanya. Tepat tanggal ini, tiga tahun yang lalu. Saat itu
ia masih menganggap bahwa semua hal yang ia terima adalah sebatas ‘cinta monyet’
belaka. Namun seiring dengan berjalannya waktu, Hyoseung merasa bahwa cinta ini
sungguh-sungguh, kuat dan apa adanya. Tapi ada satu hal. Semakin besar rasa
cintanya, semakin banyak pula tekanan yang ia terima. Dan kini ia tidak bisa
lagi menahannya. Hyoseung harus melepaskannya.
Sudah tiga puluh menit Shin Hyoseug
duduk di kursi taman ini, tempat dimana ia akan bertemu dengan orang itu. Orang
yang telah banyak mengukir senyum di bibirnya, tapi juga membuatnya harus
memeras air mata diam-diam. Tidak, itu bukan salah sang pria. Itu adalah
kesalahannya. Kesalahan karena jatuh cinta pada sosok yang terlampau sempurna.
Hyoseung mendongakkan kepala saat
tiba-tiba terdengar gemuruh dari langit sana. Hei, bahkan langitpun seolah
ingin ia segera mengakhiri ini semua. Hingga akhirnya dari kejauhan sana tampak
pria yang sudah ia tunggu. Senyum Hyoseung mengembang, dan luka di hatinya
kembali basah.
“Maaf,
aku terlambat. Kau sudah lama menunggu?” pria itu tergopoh. Tampaknya sangat
kelelahan setelah berlari-lari menghampiri Hyoseung. Tapi Hyoseung menggeleng.
“Aku
baru saja datang.” Bohongnya. Ia ingin menyelesaikan ini semua dengan cepat.
Jika ia mengatakan berapa banyak waktu yang dihabiskan untuk menunggu, pasti
pria ini akan meminta maaf sebanyak mungkin. Seolah-olah terlambat adalah dosa
yang sangat besar. Tipikalnya sekali. Dan itu akan mengulur waktu Hyoseung.
“Syukurlah.
Kau tahu, Hyo. Mobilku mogok jadi aku kesini menaiki subway. Ternyata ada peralihan
jalur dan itu–“
“Chanyeol,”
Pria berambut hitam dengan poni
depan itu menghentikan rentetan kalimatnya ketika Hyoseung menyebut namanya.
Memintanya berhenti berbasa-basi. Setidaknya itu yang ia duga.
“Ya?”
“Aku
ingin mengatakan sesuatu.”
Tangan kanan Hyoseung terangkat
sampai ke dada Chanyeol. Masih mencengkeram kuat. Itu membuat Chanyeol
mengerutkan keningnya. “Apa?”
“Kita
harus berakhir.” Kalimat itu meluncur dengan bebasnya dari sela-sela bibir
Hyoseung. Hyoseung tidak menyangka bisa selancar itu mengucapkannya. Padahal ia
luar biasa gugup. Tentu saja Chanyeol terkejut. Ia bahkan sampai mengerjapkan
kedua mata bulatnya sebanyak tiga kali. “Apa maksudmu?”
“Kita
harus mengakhiri hubungan ini. Aku ingin berpisah darimu.” Hyoseung tidak berani menatap ke dalam mata
Chanyeol. Jika ia menatap mata indah itu, pertahanannya pasti akan goyah. Ia
tidak mau itu terjadi.
“Kenapa,
Hyo?” suara berat Chanyeol terdengar tajam di telinga Hyoseung. Ia tahu
Chanyeol-nya kecewa dengan keputusan sepihak ini. Dan tentu saja terkejut
karena sebelumnya mereka tidak mempunyai masalah. Bukan, mereka memang tidak
punya masalah. Ini masalah Hyoseung sendiri. “Kenapa kau ingin kita berakhir?”
“Karena
aku merasa ini semua tidak ada gunanya. Kau hanya membuang tiga tahun hidupmu
untuk mencintai perempuan seperti aku.”
“Maksudmu,
aku mencintai perempuan yang salah?”
“Iya.
Aku tidak pantas bagimu.”
“Memangnya
apa yang telah kau lakukan? Kau mengkhianatiku? Kau mencintai laki-laki lain?”
“Pengkhianatan
adalah hal yang paling menjijikkan bagiku.”
“Lantas
apa?”
Nada suara Chanyeol mulai terdengar
bercampur dengan amarah. Hyoseung memejamkan matanya. Pria ini sama dengan
ibunya–Nyonya Park jika marah. Dan Hyoseung kembali terngiang kata-kata itu.
“Menjauhlah dari Chanyeol. Carilah
pria lain. Yang sederajat denganmu.”
Kedua mata Hyoseung terbuka ketika
ia merasa sebuah genggaman erat di buku-buku jari tangan kirinya. Jari-jemari
Chanyeol tampak besar mendekap tangannya. Terasa hangat dan akan selalu begitu.
“Lihat aku, Hyoseung.”
Hyoseung menurut begitu saja,
mengangkat kepala dan otomatis mendalami manik mata Chanyeol. Ada sebayang air
mata yang tertahan di sana. Ia tahu Chanyeol sangat keras menahan agar air mata
itu tidak jatuh. “Apakah kau menyesal telah mencintaiku?” Tanya Chanyeol.
Hyoseung menggeleng keras. Ia sama sekali tidak pernah menyesal telah mencintai
pria bertubuh tinggi itu. Mencintai Chanyeol adalah hal terindah yang pernah
dilakukan selama dua puluh satu tahun ia hidup. Dan sekaligus hal tersulit.
“Apa
alasanmu ingin mengakhiri ini semua?”
“Karena
kau adalah Park Chanyeol. Dan aku hanyalah seorang Shin Hyoseung, gadis miskin
yang tidak pantas menjadi milikmu. Karena Park Chanyeol terlalu berharga.”
Chanyeol mengela nafas dengan kesal.
Seolah kalimat yang Hyoseung ucapkan adalah kalimat terbodoh yang pernah ada.
Chanyeol menyentuh dagu Hyoseung.
“Apa
yang telah dikatakan ibuku padamu?” Tanya Chanyeol. Tapi Hyoseung menggeleng
pelan seraya menepis tangan Chanyeol. “Tidak ada yang beliau katakan. Aku hanya
sadar diri.”
Hyoseung melepas dekapan tangan
Chanyeol pada tangannya. Tangan besar itu lantas ia raih dan Hyoseung
memberikan sesuatu yang sedari tadi ada dalam genggamannya. Chanyeol
benar-benar terkejut kali ini. “Kenapa kau kembalikan cincin ini?”
“Aku,”
“Dengar,
Shin Hyoseung. Berapa kali aku harus mengatakan padamu, jangan dengarkan ibuku.
Kita yang menjalani ini semua. Aku tahu kau bahagia bersamaku karena aku juga
merasakan hal yang sama. Kau tahu, Hyoseung? Setiap kali aku terbangun dari
tidur, namamu adalah yang pertama kali muncul di kepalaku. Lantas aku akan menelponmu,
mendengar suaramu di pagi hari adalah alasan aku bisa melewati hari dengan
penuh rasa syukur.”
Kedua mata Hyoseung berkaca-kaca. Ia
merasa begitu munafik. Bersikeras meminta pada Chanyeol untuk mengakhiri
hubungan mereka, tapi di dalam hati ia meraung-raung agar Chanyeol tidak
melepasnya. Dan itulah yang saat ini dilakukan pria pujaannya.
“Tapi,”
“Aku
tidak mau lagi mendengar kalimat kau ingin mengakhiri hubungan ini. Kita tidak
akan berakhir. Sampai kapanpun.”
“Chanyeol,
dengarkan aku. Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu. Tapi ini adalah jalan
terbaik bagi kita.”
“Terbaik
apanya? Hubungan kita berakhir dengan alasan yang tidak jelas dan kau berkata
ini yang terbaik?”
“Cinta
tidak harus memiliki, Chanyeol.”
“Tidak.
Bagiku cinta itu harus memiliki. Aku tidak bahagia jika aku hanya melihat. Kau
pikir aku akan bahagia melihatmu menggenggam tangan pria lain –jika kita
mengakhiri hubungan ini? Lantas kau tidak akan sakit melihatku memeluk
perempuan lain selain dirimu?”
“Chanyeol
jangan buat aku pusing.”
“Kau
yang membuatku pusing, Hyo.”
Hyoseung menggigit bibir bawahnya.
Ia benar-benar berada dalam posisi yang sulit. Ia ingin melepas sosok Chanyeol,
tapi ia juga masih menggenggamnya kuat-kuat. Ia menatap punggung Chanyeol yang
tinggi, Chanyeol membelakanginya.
“Mengapa
harus munafik, Hyo? Kau masih mencintaiku. Lantas mengapa kita tidak
menjalaninya seperti biasa seperti tiga tahun selama ini.”
“Tidak
akan bisa sama lagi, Chanyeol.”
Chanyeol membalikkan badannya yang
semula membelakangi Hyoseung, kini menghadap gadis itu. “Lantas apa maumu?”
“Bukankah
aku sudah mengatakannya?”
“Baiklah.
Kau mendapatkannya.”
Chanyeol memasukkan cincin yang
digenggamnya ke dalam saku celananya. Ia melangkahkan kakinya mendekati
Hyoseung. Menatapnya lurus-lurus.
“Selamat
tinggal, Shin Hyoseung. Jaga dirimu baik-baik.” Chanyeol mengusap kepala
Hyoseung dengan lembut, kemudian mengecup dahinya selama tiga detik. Lantas
pria dengan jaket hitam itu pergi. Sementara Hyoseung hanya menatap punggung
Chanyeol yang semakin tampak kecil. Hingga akhirnya benar-benar lenyap dari
pandangannya.
“Chanyeol,”
setetes air mambasahi telapak tangannya. Hyoseung mendongakkan kepalanya.
Mendung telah menggantung dengan gelapnya. Tapi hujan belum turun sama sekali.
Butuh waktu sepersekian detik bagi Hyoseung untuk menyadari itu bukan tetesan
air hujan. Itu adalah air matanya.
Hingga akhirnya Hyoseung merasakan
tetesan air jatuh di atas kepalanya. Satu tetes, dua tetes, lama-lama dalam
jumlah konstan dan terus bertambah jatuh menghujaninya. Air yang tumpah dari
langit itu mampu meredam tangis dan menyamarkan air mata Hyoseung. Tapi masih
belum bisa menghapus jejak luka yang tergores di permukaan hatinya.
Chanyeol-nya telah pergi. Dan itu atas permintaannya.
“Bye,
Park Chanyeol.”
Hyoseung membalikkan badannya
meninggalkan taman itu. Ia tidak peduli meskipun hatinya sangat pedih, ia
berharap Chanyeol bisa mendapatkan gadis yang lebih baik darinya. Chanyeol
pantas akan itu. Dan gadis itu bukan dirinya.
---end---
0 komentar:
Posting Komentar