Title
: Drifted Away
Cast
: Xi Luhan – Irene (Red Velvet)
Genre
: Romance, Alternative Universe (AU)
Length
: oneshoot
Author
: Dobibee
Disclaimer
: I don’t own anything, just borrow their name. All casts owned by themselves. Plot
and story are mine. Repost? Ask me first. Thank you.
----------------
Alunan
musik terdengar pelan di dalam café. Beberapa pengunjung tampak begitu
menikmati suasananya. Ada yang bercengkerama dengan teman atau kekasih, ada
juga yang duduk sendiri. Beberapa bahkan berkutat dengan lembaran kertas dan laptop yang ada di hadapannya. Begitu juga dengan
Luhan, seorang mahasiswa jurusan psikologi yang saat ini tengah berkencan
dengan tugas yang diberikan dosennya kemarin.
Luhan menyesap perlahan espresso dari gelas putih di mejanya.
Pria dua puluh dua tahun itu adalah seorang pecinta kopi dan variannya. Tapi
yang menjadi favoritnya adalah espresso. Setelah meletakkan gelasnya, Luhan
kembali mengerjakan tugasnya. Ia sering menyelesaikan tugas kampus di café
seperti ini. Menurutnya suasana di café lebih ramah, membuatnya mudah memahami
dan mengerjakan tugas, ditambah dengan semerbak aroma kopi di sana-sini yang ia
sukai.
Tiba-tiba saja suasana café yang
tenang berubah menjadi riuh, dan Luhan merasa seseorang menyiram ujung
kepalanya dengan sesuatu yang berbau tajam. Semakin banyak sampai sekujur
tubuhnya basah dan ini, bensin? Sontak Luhan berdiri dan membalikkan badan. Di
hadapannya kini berdiri seorang gadis tengah menatapnya dengan berapi-api. Ia
juga berusaha menyalakan sebuah pemantik api yang dibawanya. Luhan
membelalakkan mata, sangat terkejut dengan apa yang dilakukan gadis itu, yang
bahkan sama sekali tidak dikenalnya.
“Ada
apa ini?” tanya Luhan. Orang-orang di sekitarnya juga terlihat kaget dan tidak
mengerti dengan apa yang terjadi pada gadis itu.
“Kau
jahat!” teriak gadis itu. Pemantik api di tangannya sudah menyala. Ia sudah
sangat siap melempar benda itu pada Luhan, membakarnya.
“Tunggu
sebentar. Kau ini siapa?” Luhan mundur selangkah, sekarang ia benar-benar
takut. Apakah gadis ini gila?
“Aku
adalah dirimu. Kita adalah satu.”
Luhan mengerutkan keningnya, semakin
tidak mengerti dengan ucapan gadis itu.
“Apa?”
“Kau
lupa, Luhan? Kau lupa dengan apa yang telah kita lewati bersama?”
Gadis ini tahu namanya? Tapi
bagaimana mungkin Luhan tidak mengenalnya sama sekali? Luhan berusaha mencari
gadis ini di setiap lipatan memorinya. Tapi itu sama sekali tidak berhasil.
Karena Luhan tidak pernah bertemu atau mengenalnya.
“Apa
maksudmu? Aku bahkan tidak mengenalmu.”
“Bohong!
Kau berusaha melupakanku? Ternyata kau sama saja dengan pria-pria munafik itu.
Kau pembohong!”
Gadis berambut panjang itu mulai
menangis. Ia histeris. Dan Luhan semakin tidak mengerti.
“Kau
menyakitiku, Luhan.” Ucapnya pelan. Pemantik api di tangannya masih menyala.
“Tunggu
sebentar. Beri aku satu alasan mengapa aku bisa menyakitimu. Kau bahkan terlalu
indah untuk disakiti.”
“Kau
sudah meninggalkanku. Setelah memberi harapan bahwa kita akan bersama
selamanya. Kau mengatakan kalau kau tercipta hanya untukku. Kita diciptakan
untuk satu sama lain. Tapi kau pergi, di saat aku butuh seseorang sepertimu di
dalam hidupku.”
“Aku
minta maaf jika aku pernah menyakitimu di masa lalu. Tapi aku benar-benar tidak
mengenalmu.”
Tangis gadis itu semakin pecah.
Kemudian ia maju satu langkah mendekati Luhan. Menatap tajam pada pria itu.
“Aku sangat mencintaimu,”
---000---
Luhan berjalan dengan agak terburu di
lorong gedung dua fakultas psikologi. Suasana sudah sepi, tapi ia berharap
temannya belum pulang. Ia akan mengembalikan buku yang beberapa hari
dipinjamnya. Begitu sampai di ruang kelas temannya, Luhan bersyukur dalam hati
karena temannya itu belum pulang.
“Oh,
Luhan!” seru Suho dari dalam kelas. Pria itu menyadari kehadiran Luhan karena
langkah-langkah yang merasuk ke dalam telinganya.
“Syukurlah
kau belum pulang. Aku ingin mengembalikan buku yang kupinjam kemarin.”
“Kenapa
terburu-buru? Kau sudah selesai membacanya?”
“Sudah,
terimakasih. Aku pulang dulu.”
“Baiklah.
Hati-hati.”
Setelah berpamitan, Luhan keluar
dari kelas Suho. Sekilas ia melihat jam putih yang melingkar di pergelangan
tangan kirinya. Pukul empat sore, masih cukup waktu sebelum ia pulang dan
terjebak macet. Luhanpun mempercepat langkahnya, saat tiba-tiba ia mendengar
keributan di ujung lorong sana.
Berhenti sebentar, Luhan mencoba
mendengarkan lebih dalam. Terdengar adu mulut antara pria dan wanita. Dan saat
memasuki lorong, di ujung sana memang tengah terjadi keributan. Luhan melihat
dari tempatnya berdiri. Seorang pria tengah memaki seorang perempuan yang menurut
Luhan adalah kekasih pria itu. Perempuan itu menangis, dan si pria tampak
semakin kesal. Hingga akhirnya sebuah tamparan yang cukup keras diberikan pria
itu kepada kekasihnya. Luhan membelalakkan mata.
Ia ingin menolong, tapi itu bukan
kuasanya. Luhan merasa ia tidak berhak ikut campur. Jika kesana sekarang, Luhan
khawatir pria itu justru menghajarnya karena mencampuri urusan orang lain yang
sama sekali tidak dikenal.
Kesempatanpun datang saat Luhan melihat
si pria pergi. Dengan segera ia menghampiri perempuan yang tengah menangis itu.
Begitu mereka berhadapan, Luhan berlutut. Membantu si gadis mengambil buku-buku yang berserakan
di lantai. Tidak sampai satu menit, Luhan memberikan buku di tangannya kepada
sang pemilik.
“Terimakasih,”
ujar sang gadis pelan. Tangan kanannya dipakai untuk menyeka air mata yang
membasahi wajahnya.
“Sama-sama.
Maaf, tadi aku melihatmu dan.. dia..”
“Dia
pacarku.”
“Oh,”
Luhan mengamati wajah gadis itu
selama dua detik sampai akhirnya mengerjapkan mata. Mereka berdiri. Dari sorot
matanya, Luhan tahu kesedihan seperti apa yang saat ini tengah dirasakan gadis
berambut panjang itu.
“Dia
sering menamparmu?” Luhan tahu itu pertanyaan yang terdengar lancang.
“Hanya
jika merasa kesal padaku.” Jawabnya. “Tapi setiap hari ia merasa kesal.”
“Dan
kau masih bertahan?”
“Aku
mencintainya.”
Gadis itu mengangkat wajahnya,
menatap Luhan tepat di titik terdalam matanya. Dan tanpa Luhan tahu, hatinya
bergetar. Apalagi saat ia melihat senyuman tipis dari bibir gadis cantik itu.
Yang membuatnya juga ikut tersenyum. Seperti menular.
“Cinta
itu membutakan, ya?”
“Mungkin
begitu.”
“Sampai
kapan kau akan bertahan?”
“Sampai
aku tidak bisa lagi menahan rasa sakit.”
“Sepertinya
itu butuh waktu yang lama.”
Gadis itu mengangguk. Ia menyematkan
rambutnya ke belakang telinga ketika melihat sebuah tangan terulur ke arahnya.
“Namaku
Luhan,”
“Irene.”
Jawab sang gadis sambil menjabat tangan pria manis di hadapannya saat ini.
---000---
Luhan membukakan pintu kaca dan
Irene masuk ke dalam café. Gadis itu mengucapkan terimakasih, kemudian Luhan
mengikutinya, menyamakan langkah dan keduanya duduk di sebuah berhadapan di
kursi dengan meja bernomor 7. Seorang waiters mendatangi mereka dan mencatat
pesanan.
“Espresso
dan banana muffin.” Luhan mengucapkan pesanannya dan langsung dicatat oleh
waiters.
“Coklat
hangat dan choco cookies.” Irene menimpalinya. Waiters muda itu mengangguk
sambil tersenyum, kemudian berlalu dari meja tujuh. Café masih lumayan sepi
karena baru buka sekitar setengah jam yang lalu. Luhan sering sarapan secangkir
kopi di café ini sebelum ia berangkat kuliah. Dan hari ini ia mengajak Irene
sarapan bersamanya.
Perkenalan singkat kemarin begitu
meninggalkan bekas di hati Luhan. Entah mengapa suara Irene yang terdengar
sangat lembut di telinganya masih
menggema di sana. Saat Irene memperkenalkan diri sebagai mahasiswa fakultas
sastra, menyebutkan jumlah umur dan mengetahui fakta bahwa ia dan Irene kuliah
di kampus yang sama –meskipun berbeda fakultas. Luhan menyukai itu.
Dan sebut saja ini kebetulan, nasib
mujur atau apa saja, Luhan secara tidak sengaja bertemu Irene pagi ini. Mereka
bertemu di halte tempat Luhan biasa menunggu bus. Biasanya Irene tidak pernah
terlihat di tempat ini, tapi hari ini gadis itu juga tengah berdiri dengan
anggunnya. Langkah kaki Luhan langsung tergerak menghampiri Irene yang terlihat
begitu bersinar, dengan setelan celana panjang jeans hitam dan blouse lengan
panjang warna putih. Rambut panjang Irene tergerai dan sesekali tertiup angin
dengan pelan.
Luhan menyapa Irene dan gadis itu
membalasnya dengan ramah. Tatapan mata Irene seolah mengatakan, “Hei! Kita
bertemu lagi.” Sambil menunggu sebuah bus datang, Luhan menawari gadis itu
untuk sarapan secangkir kopi di café yang menjadi tempat favoritnya. Dan
ternyata Irene mau. Kuliah akan dimulai pukul sepuluh siang, jadi mereka masih
punya waktu setengah jam lebih.
“Aku
baru melihatmu menunggu bus di halte. Biasanya tidak pernah.”
“Aku
berangkat ke kampus sendiri.”
“Memangnya
kenapa?”
“Pacarku
tidak menjemputku hari ini. Karena,”
Luhan menunggu kalimat yang
selanjutnya akan meluncur dari mulut Irene.
“Kami
putus. Semalam.”
“Oh,”
Irene menundukkan kepalanya.
Tiba-tiba saja Luhan merasa bersalah karena pertanyaannya. Ia tidak tahu
mengenai hubungan Irene dan kekasihnya.
“Aku
yang meminta putus darinya.” Ujar Irene.
“Kau
sudah tidak bisa menahan rasa sakitmu lagi?”
“Begitulah.”
“Kau
akan mendapatkan pria yang lebih baik.”
Irene mengangguk dan sedetik
kemudian mengangkat kepalanya. Menatap wajah teduh Luhan yang kini tersenyum
padanya. Pipi Irene sedikit merona, ah apa-apaan ini. Ia belum sampai dua puluh
empat jam mengenal Luhan tapi senyuman pria itu bisa sedikit menaikkan
temperature tubuhnya, memompa detak jantungnya untuk mengalirkan darah lebih
cepat.
“Satu
cangkir espresso, satu cangkir coklat hangat, banana muffin dan choco cookies.
Selamat menikmati.” Sang waiters meletakkan pesanan mereka di atas meja.
“Terimakasih.”
Sahut Luhan ramah, kemudian waiters kembali pergi. Luhan menyesap espressonya
dengan pelan. Pria itu kemudian memulai percakapan ringan dengan Irene. Irene
adalah gadis yang sedikit pemalu. Atau mungkin karena mereka belum terlalu
mengenal. Tapi Luhan merasa bahwa gadis ini menyenangkan.
“Kau
punya saudara?” Irene mengunyah pelan cookies yang ada di dalam mulutnya ketika
Luhan bertanya. Setelah menelan makanannya, Irene menggeleng. “Aku anak
tunggal.”
“Aku
juga anak tunggal.”
“Benarkah?”
Luhan mengangguk sambil tersenyum. Sebuah
getaran kecil kembali dirasakan Irene ketika ia menatap senyuman Luhan. Dengan
cepat ia berusaha menepis rasa itu. Menggelengkan kepala, agar getaran di
hatinya segera lenyap.
“Kita
bisa ke kampus bersama.” Ucap Luhan. Irene mengerjapkan mata sekali sebelum
mengangguk. “Kedengarannya bagus.”
---000---
Irene menuruni tangga yang
menghubungkan lantai dua ke lantai dasar rumahnya. Ia baru saja bangun tidur.
Sambil menggelung rambut panjangnya, gadis itu menuju ke arah kulkas dan
mengambil sekaleng minuman dingin dari sana. Setelah meneguk minumannya, Irene
mendengar bel rumahnya berbunyi beberapa kali. Akhirnya ia membukakan pintu,
namun tidak ada siapapun di sana.
Kepala Irene celingukan, tidak ada
tanda-tanda kedatangan seorang tamu. Tapi ketika ia akan menutup pintu, ekor
matanya melihat sebuah kotak di bawah kakinya. Irene mengambil kotak berwarna
putih dengan hiasan pita itu dan membawanya masuk ke dalam rumah. Tidak ada
nama pengirim yang tertera di sana.
Kedua mata Irene sedikit membulat
saat membuka kotak tersebut dan melihat isinya. Ada setangkai bunga mawar merah
di dalam sana. Sepucuk surat juga tersemat di bawah mawar itu. Entah mengapa
Irene merasa gugup saat membaca surat bertuliskan tulisan tangan yang rapi.
Untuk Irene, yang terindah.
Meskipun mawar ini tidak seindah
diri dan senyummu, setidaknya biarkan aku memberikan sesuatu. Aku tidak tahu
harus memberimu apa, jadi aku berikan setangkai mawar ini. Mereka bilang, mawar
adalah lambang dari cinta. Tapi menurutku, mawar itu melambangkan dirimu. Karena
kau seindah cinta, yang selama ini aku rasakan. Tolong simpan mawar ini, jaga
agar tidak layu.
Luhan.
“Luhan?”
Deg! Jantung Irene berhenti berdetak
selama sedetik. Dalam lima menit, ia sudah membaca surat itu lebih dari sepuluh
kali. Benarkah Luhan yang mengirimkan ini untuknya? Pria itu romantis sekali,
batin Irene. Ia dan Luhan sudah mengenal lebih dekat satu sama lain. Tepatnya
hari ini, adalah hari ke tiga puluh ia mengenal pria bernama lengkap Xi Luhan
itu.
Hei, Irene bahkan menghitungnya.
Dengan
hati-hati, Irene mengeluarkan bunga itu dari kotak dan melepas plastik yang
membungkusnya. Kemudian ia bergegas menuju dapur mengambil sebuah tempat yang
terbuat dari kaca dan mengisinya dengan air dingin sampai tiga per empat
bagian. Irene kembali ke kamarnya dan memasukkan bunga mawar merahnya ke tempat
itu.
Diletakkannya bunga itu di meja yang
ada di samping tempat tidurnya. Jadi jika ia bangun tidur, bunga itu akan
menyapanya. Mengucapkan selamat pagi.
“Ah,
apa yang aku pikirkan? Itu ‘kan hanya sebuah bunga.” Gumam Irene. Tiba-tiba ia
dikejutkan oleh dering ponselnya. Ada telepon masuk dan begitu ia lihat layar
benda berwarna putih itu, “Luhan?” Irene menjawabnya.
“Hallo..”
“Kau sudah menerimanya?”
“Um,
sudah.”
“Apa isinya?”
“Bukankah
kau yang mengirimkan? Seharusnya kau tahu apa isinya.”
“Sudah, katakan saja.”
“Baiklah.
Bunga mawar merah.”
“Kau suka?”
“Aku
suka. Terimakasih, Luhan.”
“Syukurlah kalau kau suka.”
Irene tersenyum meskipun ia tahu,
Luhan tidak melihat senyumannya saat ini. Tapi setidaknya ia berharap Luhan
akan merasakan senyumannya yang kepalang manis itu. Irene benar-benar menyukai
mawar. Dan ini Luhan yang memberikannya. Laki-laki yang telah memenuhi hatinya
selama tiga puluh hari ini.
“Bisa kita bertemu hari ini?”
---000---
“Kita
sudah bersama lebih dari dua tahun. Kau lihat cincin ini, Luhan? Kau
memberikannya tepat di saat ulang tahunku. Kau melamarku, Luhan. Kau lupa
dengan itu semua?”
“Apa?
Maksudmu kita sudah bertunangan?”
Luhan mengamati sebuah cincin yang
melingkar di jari manis kiri gadis yang kini tengah mengacungkan pemantik api
ke arahnya ini. Benar-benar tidak masuk akal. Luhan bahkan tidak merasa tengah
mempunyai pacar saat ini. Dan seorang gadis tengah berapi-api mengatakan kalau
mereka telah bertunangan?
“Kau
jangan pura-pura bodoh, Luhan.”
“Jelaskan
dari awal, bagaimana aku bisa bertemu denganmu.”
---000---
Menyaksikan hamparan langit malam
adalah kesukaan Irene. Apalagi dengan taburan kerlip yang berasal dari jutaan
bintang. Dan di sinilah ia saat ini. Duduk di balkon kamarnya memandang
background malam yang amat indah itu. Hal yang terindah dari ini semua adalah,
ia bersama Luhan. Ada Luhan di sampingnya.
“Kau
lihat bintang itu?” Tanya Irene sambil menunjuk sebuah bintang yang paling
bersinar di matanya. “Mereka semua bintang,” sahut Luhan.
“Bukan.
Lihat arah jariku menunjuk. Ada satu bintang yang paling terang di antara
jutaan bintang itu.”
Luhan mengikuti arah yang ditunjuk
oleh jari Irene. Semuanya tampak sama. Memiliki sindar dan pendar yang sama. Ada
yang berukuran lebih besar, tapi tidak lebih terang daripada bintang-bintang
yang lain. Ah, gadis di sampingnya ini memang unik.
“Luhan,
menurutmu bintang itu besar atau kecil?” Irene masih memandang langit malam.
“Mereka
terlihat kecil. Tapi sebenarnya berukuran besar.” Jawab Luhan.
“Kau
berkata mereka kecil karena kau melihatnya dengan mata. Jika kau melihatnya
dengan pikiran, kau akan mengatakan bahwa mereka besar. Tapi jika kau melihat
dengan hatimu, kau tidak akan peduli apakah bintang itu besar atau kecil,
karena kau tahu seperti apa mereka itu.”
“Maksudmu?”
“Seperti
bintang yang aku tunjuk tadi. Jika aku bisa mengumpamakan, bintang itu adalah
dirimu. Tampaknya bintang itu sama saja dengan bintang yang lain. Tapi
menurutku tidak. Bintang itu adalah yang paling terang, paling besar dan paling
indah. Kau pasti tidak tahu bintang mana yang aku tunjuk, karena hanya aku yang
tahu. Itu bintangku. Dan bintangku adalah Luhan.”
Luhan menoleh, menatap wajah Irene
yang bersinar di bawah langit malam. Sudah lama ia jatuh cinta pada gadis ini.
Bahkan sejak pertama kali pertemuan di antara keduanya.
Merasa tengah diperhatikan, Irene
menolehkan kepalanya. Dan ia mendapati sepasang mata tengah berbinar
menatapnya. Irene tersenyum, kebiasaannya jika Luhan tengah menatapnya. Entah
mengapa ia juga tidak tahu. Senyumannya lepas begitu saja, bahkan mungkin ia
akan terlihat seperti orang gila.
“Terimakasih,”
ucap Irene. “kau hadir di saat aku butuh seseorang sepertimu. Kau bisa
menyembuhkan lukaku dengan cepat, bahkan tidak berbekas sama sekali.”
“Aku
bersyukur bisa menyembuhkan lukamu. Kau tahu, Irene. Kau terlalu indah untuk
disakiti.”
Irene menatap jauh ke kedua manik
mata Luhan. Dan ia seperti jatuh ke dalam sebuah lubang hitam yang sangat
dalam. Sangat dalam bahkan ia tidak akan pernah bisa keluar dari sana. Masuk ke
dalam hati Luhan terasa seperti masuk ke sebuah labirin yang panjang dan penuh
belokan. Sangat sulit menemukan garis akhir. Tapi Irene tidak pernah ingin
terbebas dari sana. Ia ingin tetap di dalam labirin itu. Selamanya.
“Jangan
pernah pergi, Luhan.” Bisik Irene pelan saat ia menyadari Luhan kini sangat
dekat dengannya. Bahkan ia bisa menghirup nafas Luhan yang hangat. Luhan tengah
menatapnya, tajam dan dingin. Sebuah tatapan yang tidak pernah ia lihat dari
Luhan selama ini. Dan itu berhasil membuatnya gugup.
Irene memejamkan matanya, karena ia tahu apa yang
akan Luhan lakukan selanjutnya. Dan itu benar. Irene merasakan sebuah sapuan
lembut di bibirnya. Hanya tiga detik, lantas ia kembali merasakan udara dingin.
Irene belum membuka mata. Terlalu gugup melihat reaksi Luhan jika melihat
semburat merah di pipinya.
“Irene,
apakah kau mencintaiku?”
Suara halus Luhan akhirnya membuat
Irene membuka mata. Dan kini ia dihadapkan oleh seraut wajah malaikat, meminta
jawaban darinya. “Kau tahu,” jawabnya. “cinta tidak bisa menggambarkan apa yang
aku rasakan saat ini, Luhan. Tidak cukup hanya dengan kata cinta. Apa yang aku rasakan terhadapmu saat ini, sangat lebih
tingkatannya di atas cinta.”
Mendengar jawaban dari gadis pujaannya, Luhan tersenyum.
Ia lantas mengeluarkan sesuatu dari balik jaket denim biru tuanya. Ada sebuah kotak kecil di genggamnya.
“Manusia
biasa terlalu sulit untuk memahami apa arti yang sebenarnya dari cinta. Tapi
aku akan berusaha semampuku, sekuat dayaku untuk mencintaimu. Menjagamu agar
kau tidak layu, tidak ada setetes air matapun yang kau luncurkan dari kedua
mata indahmu.” Luhan mengeluarkan sepasang cincin dari dalam kotak kecil
berwarna merah itu. Ia meraih tangan kiri Irene dan menyematkan sebuah cincin
di jari manisnya. “Karena cinta itu hakiki dan sangat mulia.”
Irene terhenyak dengan kalimat yang
keluar dari mulut Luhan barusan. “Hei, aku yang mahasiswa sastra saja tidak
pernah membuat kalimat seromantis itu.” Komentarnya. Luhan hanya tersenyum,
“Apakah untuk menjadi romantis harus dengan kuliah sastra terlebih dahulu?”
Luhan menarik lembut tangan Irene dan membawanya ke dalam pelukan. Irene
memeluk Luhan dengan erat. Menghirup feromon pria itu yang bercampur dengan
udara malam.
“Yang
terpenting adalah, aku mencintaimu.”
---000---
Ucapan selamat dan bouquet bunga
banyak diterima oleh Irene. Hari adalah hari ia menjalani wisuda setelah empat tahun menempuh kuliah. Masih
dengan memakai toga, Irene berfoto bersama beberapa temannya. Senyum terus
menguar dari wajah cantiknya. Ia benar-benar bahagia. Namun ada satu hal yang
membuatnya tersenyum semakin lebar, ketika ia melihat sosok Luhan berlari kecil
menghampirinya. Luhan membawa bouquet mawar yang indah.
“Maaf,
aku terlambat.” Sesal Luhan dengan nafas yang sedikit terengah. “Untung saja
aku diperbolehkan masuk.”
“Acaranya
belum selesai. Kau tidak perlu khawatir. Nah, kita belum berfoto bersama, kan?”
sahut Irene. Ia mengeluarkan ponselnya dan menyerahkan benda itu pada salah
satu temannya, “Tolong fotokan kami.” Pinta Irene. Ia dan Luhan lantas berpose,
kemudian temannya mengambil foto mereka berdua.
“Terimakasih.”
Ujar Irene. Temannya itu lantas pergi.
“Irene,”
panggil Luhan. Irenepun menoleh, “Ya?”
“Selamat
atas wisudamu.”
Irene kembali tersenyum dan kali ini
ia merasa kedua matanya sedikit tergenang air. Ketika Luhan menyerahkan bouquet
mawar kepadanya. “Kau gadis yang pintar.”
“Terimakasih.”
Luhan sudah menjalani wisuda dua
bulan yang lalu bersama dengan mahasiswa dari beberapa fakultas lainnya. Untuk
fakultas bahasa, wisuda harus ditunda karena beberapa hal. Hingga akhirnya
diselenggarakan hari ini. Tidak masalah bagi Irene, karena ia mendapatkan hasil
sebagai lulusan terbaik.
Dan hubungannya dengan Luhan semakin
baik. Irene merasa ini adalah hadiah terindah baginya, karena besok bertepatan
dengan hari ulang tahunnya.
“Luhan,”
gumam Irene. “Terimakasih kau sudah hadir dalam hidupku. Jika aku tidak bertemu
denganmu hari itu, mungkin kita tidak akan bersama sampai detik ini.”
Luhan memeluk Irene dengan erat. Dan
pria itu bisa mendengar isak tangis Irene yang teredam oleh dekapannya dan juga
riuh suasana hall, “Sssttt, kenapa kau menangis?”
Irene melepaskan diri dari pelukan
Luhan. Ditatapya wajah Luhan, sedikit berbayang. Irene lantas merasa dua buah
jari mengusap pipinya, menyeka air mata yang membuatnya basah. Dan itu adalah
iu jari Luhan. “Jangan menangis. Ini hari kelulusanmu.”
“Maaf,
aku terlalu terbawa suasana.”
---000---
Luhan turun terlebih dahulu dari
mobil sedan hitamnya, kemudian berjalan ke sisi kanan untuk membukakan pintu
bagi Irene. Irene lantas turun, menyambut uluran tangan Luhan dan
menggenggamnya dengan erat. Kedua sejoli itu masuk ke sebuah restaurant
perancis dan disambut ramah oleh pelayan disana. Luhan duduk di meja yang masih
kosong. Dan Irene duduk di hadapannya. Seorang pelayan menghampiri keduanya dan
menuangkan sampanye di gelas berleher tinggi yang ada di meja dan pergi. Lantas
pelayan lain datang, memberikan daftar menu.
“Kau
mau pesan apa?” Tanya Luhan sambil membalik-balik daftar menu. Irene menggumam
sebentar. Kemudian pesanannya jatuh pada Beef Bourguignon. Sementara Luhan memesan Foie Gras. Pelayan muda itu mengangguk,
meninggalkan Luhan dan Irene. Sambil menunggu pesanannya, Luhan mengatakan
sesuatu apa yang selama ini ingin ia katakan pada
gadis pujaannya itu.
“Irene,”
panggil Luhan lembut. Irene menyahut, “Ya?”
“Ada
sesuatu yang ingin aku katakan padamu.”
Sorot mata Luhan meminta gadis itu
untuk menatapnya dalam-dalam. Tentu saja Irene terpaku, menatap lurus ke kedua
bola mata Luhan. Menunggu apa yang akan Luhan ucapkan selanjutnya. Irene
menyatukan kedua alisnya saat melihat Luhan mengeluarkan sesuatu dari balik
jasnya. Dan sebuah kotak kecil berwarna merah kini ada dalam genggaman Luhan.
“Kau
lihat ini?” Tanya Luhan. Kedua mata Irene membulat.
“A..
apa itu? Apa maksudnya?”
Luhan tersenyum. Kemudian ia membuka
kotak itu. Terdapat dua buah cincin emas putih bersemayam di sana. Irene nyaris
memekik.
“Luhan,”
“Irene,
menikahlah denganku.”
“A..
apa?”
“Aku
tahu, kita baru saja menerima ijazah kita, aku belum mempunyai pekerjaan. Aku
belum bisa menjanjikan apapun padamu, hanya cinta saja untuk saat ini. Tapi aku
sungguh-sungguh. Aku akan membahagiakanmu.”
“Luhan,
aku.. astaga.”
Luhan mengambil salah satu cincin
dari kotak dan meraih tangan Irene, gadis itu masih mengenakan cincin yang
Luhan berikan tahun lalu. Ia tukar cincin lamanya dengan cincin emas putih yang
ia genggam saat ini. Kedua mata Irene berkaca-kaca, dan akhirnya mengangguk
pelan.
“Nah,
pakaikan ini di jariku.” Pinta Luhan. Irene mengambil cincin yang lain dan
menyematkannya di jari manis kiri Luhan. Cincin yang sangat pas.
“Jika
aku sudah mendapat pekerjaan, aku akan menemui orang tuamu dan meminta izin
untuk menikahimu.”
Antara percaya dan tidak, Irene
hanya tersenyum lebar. Bulir air mata kebahagiaan meluncur dengan bebasnya dari
kedua mata indahnya.
“Terimakasih,
Luhan.”
---000---
Irene menatap layar ponselnya dengan
gusar. Sudah tiga hari Luhan tidak menelponnya. Irene mencoba menghubungi
kekasihnya terlebih dahulu, namun nomor Luhan tidak aktif. Ia juga mengirim
pesan, tapi pesan-pesan itu tidak ada yang terkirim. Kemana sebenarnya pria
itu? Apa yang telah terjadi sampai Luhan menghilang begitu saja?
Selama tiga hari itu pula Luhan
tidak sekalipun datang ke rumah Irene. Tepatnya sepuluh hari setelah Luhan
melamarnya. Setelah malam itu, baik Luhan maupun Irene belum mengatakan hal itu
kepada orang tua masing-masing. Mereka menunggu saat yang tepat.
Tapi kenyataannya Luhan justru
menghilang. Apakah ini bagian dari rencananya? Luhan adalah tipe pria yang
penuh kejutan. Ia akan membuat Irene beharap kejutan-kejutan kecil lainnya
setiap kali mereka membuat sebuah janji untuk bertemu misalnya. Dan Irene
sangat menyukai itu, hal-hal kecil yang diberikan Luhan justru membuat cintanya
pada pria itu semakin besar setiap harinya.
Akhirnya Irene memutuskan untuk
datang ke rumah Luhan. Namun saat masih bersiap-siap, ia mendengar bel rumahnya
berbunyi sebanyak tiga kali. Segera Irene membukakan pintu dan berharap orang
yang akan dilihatnya adalah Xi Luhan.
Namun ia kecewa ketika ia membuka
pintu, yang dilihatnya bukanlah Luhan.
“Apakah
anda benar nona Irene?” Tanya orang itu. Tukang pos.
“Benar,
saya sendiri.” Jawab Irene.
“Ada
surat untuk anda.” Ujar tukang pos sambil menyerahkan sepucuk surat dengan
amplop berwarna kelabu. Irene menandatangani bukti penerimaan surat, kemudian
tukang pos itu pergi. Ditutupnya pintu rumah dan terkunci secara otomatis.
Sambil membolak-balik amplop di
tangannya –mencari identitas pengirim, Irene berjalan menuju kamarnya. Tapi
karena tidak menemukan nama pengirim, Irene langsung merobek penutup amplop itu
dan mengeluarkan isinya. Ada selembar kertas yang dilipat menjadi beberapa
bagian. Irene mulai membacanya.
Untuk Irene yang terindah,
Tentu
kau sudah tahu berapa banyak cinta yang aku rasakan untukmu. Dan aku menulis
surat ini masih dengan perasaan cinta yang meluap-luap. Aku terlalu takut untuk
mengatakan ini padamu secara langsung.
Irene,
aku berdoa kau baik-baik saja, dan kau harus baik-baik saja meskipun itu
tanpaku. Maaf, aku harus pergi. Aku tidak pernah meninggalkanmu, tapi hanya
terlepas darimu. Aku tidak bisa meneruskan ini semua, karena jika kau terus
hidup bersamaku, maka kau akan menderita. Aku tidak bisa memberikan kebahagiaan
yang pernah aku katakan padamu. Kau terlalu indah untuk itu semua. Karena kau
layak untuk bahagia.
Terimakasih,
kau telah hadir dan memberikan arti di hidupku yang sempit ini. Kau datang
bagai cahaya ketika aku berada dalam gelap. Aku melakukan ini untuk kebaikanmu.
Carilah tempat bersandar lain, yang lebih kuat dariku. Kau pasti akan menemukan
kebahagiaan selain aku. Aku mencintaimu sampai kapanpun. Bahkan jika matahari
tidak mampu lagi menghangatkan bumi, kau akan tetap di dalam hatiku.
Menghangatkannya agar tidak beku meskipun kau telah menjadi matahari bagi yang
lain. Tidak apa. Aku akan tetap mencintaimu.
Selamat tinggal, jaga dirimu
baik-baik.
Luhan.
Kedua mata Irene berkaca-kaca saat
membaca tulisan tangan Luhan. Ia lantas menemukan surat lain. Dan tangis Irene
pecah seketika saat ia menemukan surat persetujuan operasi. Ada tanda tangan
Luhan di sana, menyetujui jika ia akan melakukan operasi amputasi pada kedua
kakinya. Tapi kenapa Luhan harus melakukan itu semua? Apa alasannya?
Dengan masih berurai tangis, Irene
mengambil kunci mobil dan pergi ke rumah salah satu teman dekat Luhan. Orang
itu pasti tahu. Tak lupa Irene membawa surat persetujuan operasi itu. Begitu
sampai, Irene mengetuk pintu dengan brutal. Ia juga berteriak-teriak, “Suho!
Buka pintunya! Suho! Aku harus bicara denganmu! Suho!”
Satu menit kemudian, pintu rumah
mewah itu terbuka dan Irene bertemu langsung dengan Suho. Pria itu tampak
sedikit terkejut dengan kehadiran Irene.
“Ada
apa, Irene?” tanyanya. Irene langsung menyodorkan surat di tangannya dengan
kasar, “Apa artinya ini? Kau pasti tahu sesuatu.”
Suho menerima surat itu dan
membacanya. Kedua matanya membulat. Ia mengangkat kepala dan menatap wajah
sembab Irene. Akhirnya gadis itu tahu. Dan Suho harus memberitahu apa yang
sebenarnya terjadi.
“Bagaimana
kalau kita masuk terlebih dahulu. Kita harus membicarakan ini dengan kepala
dingin.” Usul Suho. Ia tahu bahwa ini tidak akan bisa dibicarakan dengan kepala
dingin. Gadis itu pasti akan histeris jika tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Tidak
perlu! Katakan saja disini!” bantah Irene keras. Suho menghela nafas, “Baiklah.
Tapi kau harus tenang.”
“Apa
yang terjadi pada Luhan?”
“Tunggu
sebentar. Ada sesuatu yang Luhan titipkan padaku.”
Suho masuk ke dalam rumahnya dan
tidak sampai satu menit kembali lagi.
“Dia
menitipkan ini padaku agar diberikan padamu jika kau menanyakan keadaannya.”
“Memang
apa yang terjadi padanya?” Irene mengamati benda yang diberikan Suho. Cincin
yang ia tukar dengan Luhan beberapa hari yang lalu, di hari ulang tahunnya,
saat Luhan melamarnya.
“Luhan
mengalami kecelakaan tiga hari yang lalu. Dan itu membuatnya harus kehilangan
kedua kakinya. Orang tua Luhan membawanya kembali ke Cina dan dirawat disana.
Selamanya.”
---000---
Irene membaca surat dari Luhan
berkali-kali. Ia masih tidak percaya, Luhan pergi meninggalkannya. Padahal
Irene tidak pernah menuntut apapun dari pria itu. Irene akan menerima Luhan apa
adanya, dengan ataupun tanpa kedua kaki. Baginya Luhan adalah yang terbaik
untuknya.
Rasa sedih Irene meluap menjadi
emosi yang tidak bisa ia kendalikan. Ia melempar surat di tangannya dengan
keras ke udara. Kemudian ia memberantakkan apa-apa yang ada di kamarnya.
Buku-buku di rak, peralatan make-upnya, selimut, bantal dan tempat tidur. Irene
lantas mengambil vas bunga tempat ia merawat bunga-bunga mawar pemberian Luhan
dan melemparnya ke dinding hingga pecah berderai.
Irene menjerit histeris, menangis
sejadi-jadinya. Ia merasa sangat kacau, tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
Gadis itu merebahkan diri di atas tempat tidurnya yang berantakan dalam keadaan
telungkup. Kedua tangannya mencengkeram selimut kuat-kuat.
“Jika
aku bisa kembali ke masa lalu, aku akan membunuhmu, Luhan. Sebelum kita saling
mengenal dan sebelum kau membuatku terjatuh padamu hingga sedalam ini.”
Irene terus menangis. Keinginan di
dalam hatinya sangat kuat. Lebih baik ia tidak pernah bertemu Luhan jika pada
akhirnya ia harus kehilangannya. Irene harus menghilangkan semua kenangan yang
berhubungan dengan Luhan. Dan caranya adalah dengan membunuhnya.
Bahkan hingga jatuh tertidurpun,
keinginan untuk membunuh Luhan masih tertanam kuat di dalam hatinya.
---000---
Alarm di nakas kecil di samping
tempat tidur Irene membangunkan gadis itu. Perlahan Irene membuka kedua
matanya. Saat melihat keadaan sekelilingnya, Irene sedikit terkejut. Tempat
tidurnya sama sekali tidak berantakan. Dan sedikit berbeda. Tidak ada foto-foto
dirinya dan Luhan yang terbingkai manis. Tidak ada boneka hati yang tertulis
namanya, tidak ada mawar. Semuanya sama seperti dulu, ketika ia belum bertemu
dengan Luhan.
Apakah ia benar-benar kembali ke masa lalu? Irene
berlari ke kaca, mengamati dirinya dari pantulannya. Tidak ada yang berubah.
Model rambut, bahkan ia masih memakai pakaian yang sama seperti ia kenakan
semalam. Irene lantas mengambil ponselnya dan melihat tanggal yang tertera di
sana.
12 juni 2012. Itu tepat dua tahun yang lalu. Ini
benar. Irene kembali ke masa lalu. Dan ia teringat dengan keinginannya semalam.
Ia akan membunuh Luhan. Menyingkirkan pria yang sangat dicintainya dan juga ia
benci. Irene harus melakukannya. Mencegah apa yang telah terjadi padanya agar
tidak terulang kembali. Dan ia tahu dimana tempat untuk menemukan Luhan.
---000---
“Jadi
namamu adalah Irene? Dan kau datang dari masa depan untuk membunuhku?”
“Kau
tidak tahu betapa tersiksanya aku setelah kau pergi. Mengapa kau lakukan itu?
Mengapa kau sama dengan pria-pria lain?”
Luhan menggelengkan kepalanya. Gadis
ini benar-benar tidak waras.
“Dengarkan
ini, nona Irene. Aku minta maaf jika aku pernah menyakitimu. Dan juga atas
kesalahanku yang belum pernah aku lakukan.”
“Katakan
kalau kau mencintaiku, Luhan. Katakanlah sekali lagi.”
“Tidak.
Aku bahkan tidak mengenalmu.”
Gadis bernama Irene itu maju
selangkah mendekati Luhan. Dan sontak Luhan mundur.
“Kalau
begitu jangan katakan kalau kau mencintaiku. Dan biarkan aku membunuhmu.”
“Apa?”
Pemantik api di tangan Irene
terlempar ke arahnya. Menyambar ceceran bensin di sekitar tubuh Luhan dan
perlahan api merambat ke sekujur tubuh Luhan. Dari tempatnya berdiri, Luhan
bisa melihat wajah muram Irene tengah menatapnya. Ia juga bisa mendengar suara
Irene terus menerus memanggil namanya.
“Luhan…”
“Tidak.
Pergilah,”
“Luhan…”
“Tidak!”
Luhan mengangkat kepalanya. Ia
menelan ludah dan menoleh ke sekitar. Tidak ada keributan. Tidak ada aroma
bensin, tidak ada kobaran api yang membakar tubuhnya. Yang ada adalah aroma
kopi dan suhu dingin yang berasal dari air
conditioner di dalam café. Di hadapannya terdapat laptopnya yang masih
menyala dan beberapa lembar kertas.
“Luhan?”
sebuah tangan menyentuh bahu Luhan dan sontak mengejutkan pria itu.
“Astaga!”
seru Luhan. Jadi ia hanya bermimpi. “Suho, kau mengejutkanku.”
“Kau
tertidur, jadi aku membangunkanmu.”
“Ya
Tuhan,”
Suho duduk di hadapan Luhan.
Ditatapnya pria dengan rambut coklat itu yang tengah mengusap wajahnya. “Sejak
kapan kau punya pemantik api? Kau merokok?”
“Apa?”
Luhan mengambil pemantik api yang
berada di samping laptopnya. Keningnya berkerut. Bagaimana bisa benda ini ada
di mejanya? Sebelumnya tidak ada. “Entah. Ini bukan milikku dan aku tidak
merokok.”
“Mungkin
milik seorang pengunjung.”
Kedua mata Luhan membulat saat
mengamati benda kecil yang ada di tangannya saat ini. Benda ini mirip sekali
dengan pemantik api milik gadis yang ia temui di mimpinya tadi. Ia lantas
menatap Suho dan bertanya dengan hati-hati, “Apakah kau kenal dengan seorang
gadis bernama Irene?”
“Irene?
Tidak. Memangnya kenapa?”
“Ti..
tidak apa-apa. Aku hanya bertanya.”
Suho mengangkat bahu. Dalam hati
Luhan bersyukur. Jadi semua hal gila tadi memang benar-benar mimpi belaka.
Tidak ada gadis bernama Irene, tidak ada gadis gila yang ingin membunuhnya. Ia
dan Suho lantas mengerjakan tugas bersama. Sambil sesekali menyesap kopi
masing-masing dan juga diselingi obrolan ringan.
Tiba-tiba keduanya dikejutkan oleh
seorang perempuan yang mendatangi mejanya. Luhan dan Suho mengangkat kepala
saat perempuan itu berkata, “Permisi.”
“Ya?”
sontak Luhan menutup mulutnya. Gadis ini, “Irene?” gumamnya sangat pelan.
“Saya
ingin mengambil pemantik api yang ada di meja ini.”
“Oh,”
Luhan memberikan pemantik api yang
ada di samping laptopnya. “Ini milik anda?”
“Terimakasih.
Ini memang milik saya.” Jawab perempuan itu. Luhan dan Suho mengangguk.
“Saya
permisi dulu.” Ujarnya, lantas Luhan mendengar sebuah suara memanggil gadis
itu.
“Irene!
Cepatlah!”
Gadis itu membungkukkan badan dan
tersenyum pada Luhan, lantas pergi dari sana. Dari tempat duduknya, Luhan
mengamati gadis itu pergi. Benar-benar mirip dengan sosok yang muncul dalam
mimpinya tadi. Bahkan dari caranya tersenyum, itu memang Irene. Gadis yang
ingin membunuhnya dengan pemantik api.
“Aku
bisa gila,” gumam Luhan.
“Apa?
Kau bicara sesuatu?” Tanya Suho saat mendengar gumaman pelan Luhan.
“Ah,
tidak. Kita sudah sampai mana?”
“Nomor
tujuh belas.”
“Kita
harus segera menyelesaikannya.”
---END---
Hai, sebelumnya makasih udah
sempatin waktu buat baca fanfiction sederhana ini. Sebenernya ide cerita ini
muncul pas liat video clipnya Letto – Permintaan Hati. Cerita ini bisa dibilang
mirip sama itu video clip, meskipun aku kembangkan dengan gaya bahasaku
sendiri. Dan belakangan lagi suka sama Irene, langsung deh kepikiran buat
jadiin Irene sebagai main cast perempuan. Kenapa aku pasangin sama Luhan, gatau
kenapa. Hihi soalnya dua-duanya wajahnya hampir mirip. Eh iya gak sih? Pokoknya
imut-imut gitu kayak anak kecil wk.
As always, jangan lupa komentar,
kritik dan saran ya hiihi. Karena aku yakin ff ini banyak sisi gajenya :v
Byeee
:*