Jumat, 30 Oktober 2015

[FANFICTION] DRIFTED AWAY


Title : Drifted Away
Cast : Xi Luhan – Irene (Red Velvet)
Genre : Romance, Alternative Universe (AU)
Length : oneshoot
Author : Dobibee
Disclaimer : I don’t own anything, just borrow their name. All casts owned by themselves. Plot and story are mine. Repost? Ask me first. Thank you.

----------------

Alunan musik terdengar pelan di dalam café. Beberapa pengunjung tampak begitu menikmati suasananya. Ada yang bercengkerama dengan teman atau kekasih, ada juga yang duduk sendiri. Beberapa bahkan berkutat dengan lembaran kertas dan laptop  yang ada di hadapannya. Begitu juga dengan Luhan, seorang mahasiswa jurusan psikologi yang saat ini tengah berkencan dengan tugas yang diberikan dosennya kemarin.
            Luhan menyesap perlahan espresso dari gelas putih di mejanya. Pria dua puluh dua tahun itu adalah seorang pecinta kopi dan variannya. Tapi yang menjadi favoritnya adalah espresso. Setelah meletakkan gelasnya, Luhan kembali mengerjakan tugasnya. Ia sering menyelesaikan tugas kampus di café seperti ini. Menurutnya suasana di café lebih ramah, membuatnya mudah memahami dan mengerjakan tugas, ditambah dengan semerbak aroma kopi di sana-sini yang ia sukai.
            Tiba-tiba saja suasana café yang tenang berubah menjadi riuh, dan Luhan merasa seseorang menyiram ujung kepalanya dengan sesuatu yang berbau tajam. Semakin banyak sampai sekujur tubuhnya basah dan ini, bensin? Sontak Luhan berdiri dan membalikkan badan. Di hadapannya kini berdiri seorang gadis tengah menatapnya dengan berapi-api. Ia juga berusaha menyalakan sebuah pemantik api yang dibawanya. Luhan membelalakkan mata, sangat terkejut dengan apa yang dilakukan gadis itu, yang bahkan sama sekali tidak dikenalnya.
“Ada apa ini?” tanya Luhan. Orang-orang di sekitarnya juga terlihat kaget dan tidak mengerti dengan apa yang terjadi pada gadis itu.
“Kau jahat!” teriak gadis itu. Pemantik api di tangannya sudah menyala. Ia sudah sangat siap melempar benda itu pada Luhan, membakarnya.
“Tunggu sebentar. Kau ini siapa?” Luhan mundur selangkah, sekarang ia benar-benar takut. Apakah gadis ini gila?
“Aku adalah dirimu. Kita adalah satu.”
            Luhan mengerutkan keningnya, semakin tidak mengerti dengan ucapan gadis itu.
“Apa?”
“Kau lupa, Luhan? Kau lupa dengan apa yang telah kita lewati bersama?”
            Gadis ini tahu namanya? Tapi bagaimana mungkin Luhan tidak mengenalnya sama sekali? Luhan berusaha mencari gadis ini di setiap lipatan memorinya. Tapi itu sama sekali tidak berhasil. Karena Luhan tidak pernah bertemu atau mengenalnya.
“Apa maksudmu? Aku bahkan tidak mengenalmu.”
“Bohong! Kau berusaha melupakanku? Ternyata kau sama saja dengan pria-pria munafik itu. Kau pembohong!”
            Gadis berambut panjang itu mulai menangis. Ia histeris. Dan Luhan semakin tidak mengerti.
“Kau menyakitiku, Luhan.” Ucapnya pelan. Pemantik api di tangannya masih menyala.
“Tunggu sebentar. Beri aku satu alasan mengapa aku bisa menyakitimu. Kau bahkan terlalu indah untuk disakiti.”
“Kau sudah meninggalkanku. Setelah memberi harapan bahwa kita akan bersama selamanya. Kau mengatakan kalau kau tercipta hanya untukku. Kita diciptakan untuk satu sama lain. Tapi kau pergi, di saat aku butuh seseorang sepertimu di dalam hidupku.”
“Aku minta maaf jika aku pernah menyakitimu di masa lalu. Tapi aku benar-benar tidak mengenalmu.”
            Tangis gadis itu semakin pecah. Kemudian ia maju satu langkah mendekati Luhan. Menatap tajam pada pria itu. “Aku sangat mencintaimu,”
---000---
            Luhan berjalan dengan agak terburu di lorong gedung dua fakultas psikologi. Suasana sudah sepi, tapi ia berharap temannya belum pulang. Ia akan mengembalikan buku yang beberapa hari dipinjamnya. Begitu sampai di ruang kelas temannya, Luhan bersyukur dalam hati karena temannya itu belum pulang.
“Oh, Luhan!” seru Suho dari dalam kelas. Pria itu menyadari kehadiran Luhan karena langkah-langkah yang merasuk ke dalam telinganya.
“Syukurlah kau belum pulang. Aku ingin mengembalikan buku yang kupinjam kemarin.”
“Kenapa terburu-buru? Kau sudah selesai membacanya?”
“Sudah, terimakasih. Aku pulang dulu.”
“Baiklah. Hati-hati.”
            Setelah berpamitan, Luhan keluar dari kelas Suho. Sekilas ia melihat jam putih yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Pukul empat sore, masih cukup waktu sebelum ia pulang dan terjebak macet. Luhanpun mempercepat langkahnya, saat tiba-tiba ia mendengar keributan di ujung lorong sana.
            Berhenti sebentar, Luhan mencoba mendengarkan lebih dalam. Terdengar adu mulut antara pria dan wanita. Dan saat memasuki lorong, di ujung sana memang tengah terjadi keributan. Luhan melihat dari tempatnya berdiri. Seorang pria tengah memaki seorang perempuan yang menurut Luhan adalah kekasih pria itu. Perempuan itu menangis, dan si pria tampak semakin kesal. Hingga akhirnya sebuah tamparan yang cukup keras diberikan pria itu kepada kekasihnya. Luhan membelalakkan mata.
            Ia ingin menolong, tapi itu bukan kuasanya. Luhan merasa ia tidak berhak ikut campur. Jika kesana sekarang, Luhan khawatir pria itu justru menghajarnya karena mencampuri urusan orang lain yang sama sekali tidak dikenal.
            Kesempatanpun datang saat Luhan melihat si pria pergi. Dengan segera ia menghampiri perempuan yang tengah menangis itu. Begitu mereka berhadapan, Luhan berlutut. Membantu  si gadis mengambil buku-buku yang berserakan di lantai. Tidak sampai satu menit, Luhan memberikan buku di tangannya kepada sang pemilik.
“Terimakasih,” ujar sang gadis pelan. Tangan kanannya dipakai untuk menyeka air mata yang membasahi wajahnya.
“Sama-sama. Maaf, tadi aku melihatmu dan.. dia..”
“Dia pacarku.”
“Oh,”
            Luhan mengamati wajah gadis itu selama dua detik sampai akhirnya mengerjapkan mata. Mereka berdiri. Dari sorot matanya, Luhan tahu kesedihan seperti apa yang saat ini tengah dirasakan gadis berambut panjang itu.
“Dia sering menamparmu?” Luhan tahu itu pertanyaan yang terdengar lancang.
“Hanya jika merasa kesal padaku.” Jawabnya. “Tapi setiap hari ia merasa kesal.”
“Dan kau masih bertahan?”
“Aku mencintainya.”
            Gadis itu mengangkat wajahnya, menatap Luhan tepat di titik terdalam matanya. Dan tanpa Luhan tahu, hatinya bergetar. Apalagi saat ia melihat senyuman tipis dari bibir gadis cantik itu. Yang membuatnya juga ikut tersenyum. Seperti menular.
“Cinta itu membutakan, ya?”
“Mungkin begitu.”
“Sampai kapan kau akan bertahan?”
“Sampai aku tidak bisa lagi menahan rasa sakit.”

“Sepertinya itu butuh waktu yang lama.”
            Gadis itu mengangguk. Ia menyematkan rambutnya ke belakang telinga ketika melihat sebuah tangan terulur ke arahnya.
“Namaku Luhan,”
“Irene.” Jawab sang gadis sambil menjabat tangan pria manis di hadapannya saat ini.
---000---
            Luhan membukakan pintu kaca dan Irene masuk ke dalam café. Gadis itu mengucapkan terimakasih, kemudian Luhan mengikutinya, menyamakan langkah dan keduanya duduk di sebuah berhadapan di kursi dengan meja bernomor 7. Seorang waiters mendatangi mereka dan mencatat pesanan.
“Espresso dan banana muffin.” Luhan mengucapkan pesanannya dan langsung dicatat oleh waiters.
“Coklat hangat dan choco cookies.” Irene menimpalinya. Waiters muda itu mengangguk sambil tersenyum, kemudian berlalu dari meja tujuh. Café masih lumayan sepi karena baru buka sekitar setengah jam yang lalu. Luhan sering sarapan secangkir kopi di café ini sebelum ia berangkat kuliah. Dan hari ini ia mengajak Irene sarapan bersamanya.
            Perkenalan singkat kemarin begitu meninggalkan bekas di hati Luhan. Entah mengapa suara Irene yang terdengar sangat lembut di telinganya  masih menggema di sana. Saat Irene memperkenalkan diri sebagai mahasiswa fakultas sastra, menyebutkan jumlah umur dan mengetahui fakta bahwa ia dan Irene kuliah di kampus yang sama –meskipun berbeda fakultas. Luhan menyukai itu.
            Dan sebut saja ini kebetulan, nasib mujur atau apa saja, Luhan secara tidak sengaja bertemu Irene pagi ini. Mereka bertemu di halte tempat Luhan biasa menunggu bus. Biasanya Irene tidak pernah terlihat di tempat ini, tapi hari ini gadis itu juga tengah berdiri dengan anggunnya. Langkah kaki Luhan langsung tergerak menghampiri Irene yang terlihat begitu bersinar, dengan setelan celana panjang jeans hitam dan blouse lengan panjang warna putih. Rambut panjang Irene tergerai dan sesekali tertiup angin dengan pelan.
            Luhan menyapa Irene dan gadis itu membalasnya dengan ramah. Tatapan mata Irene seolah mengatakan, “Hei! Kita bertemu lagi.” Sambil menunggu sebuah bus datang, Luhan menawari gadis itu untuk sarapan secangkir kopi di café yang menjadi tempat favoritnya. Dan ternyata Irene mau. Kuliah akan dimulai pukul sepuluh siang, jadi mereka masih punya waktu setengah jam lebih.
“Aku baru melihatmu menunggu bus di halte. Biasanya tidak pernah.”
“Aku berangkat ke kampus sendiri.”
“Memangnya kenapa?”
“Pacarku tidak menjemputku hari ini. Karena,”
            Luhan menunggu kalimat yang selanjutnya akan meluncur dari mulut Irene.
“Kami putus. Semalam.”
“Oh,”
            Irene menundukkan kepalanya. Tiba-tiba saja Luhan merasa bersalah karena pertanyaannya. Ia tidak tahu mengenai hubungan Irene dan kekasihnya.
“Aku yang meminta putus darinya.” Ujar Irene.
“Kau sudah tidak bisa menahan rasa sakitmu lagi?”
“Begitulah.”
“Kau akan mendapatkan pria yang lebih baik.”
            Irene mengangguk dan sedetik kemudian mengangkat kepalanya. Menatap wajah teduh Luhan yang kini tersenyum padanya. Pipi Irene sedikit merona, ah apa-apaan ini. Ia belum sampai dua puluh empat jam mengenal Luhan tapi senyuman pria itu bisa sedikit menaikkan temperature tubuhnya, memompa detak jantungnya untuk mengalirkan darah lebih cepat.
“Satu cangkir espresso, satu cangkir coklat hangat, banana muffin dan choco cookies. Selamat menikmati.” Sang waiters meletakkan pesanan mereka di atas meja.
“Terimakasih.” Sahut Luhan ramah, kemudian waiters kembali pergi. Luhan menyesap espressonya dengan pelan. Pria itu kemudian memulai percakapan ringan dengan Irene. Irene adalah gadis yang sedikit pemalu. Atau mungkin karena mereka belum terlalu mengenal. Tapi Luhan merasa bahwa gadis ini menyenangkan.
“Kau punya saudara?” Irene mengunyah pelan cookies yang ada di dalam mulutnya ketika Luhan bertanya. Setelah menelan makanannya, Irene menggeleng. “Aku anak tunggal.”
“Aku juga anak tunggal.”
“Benarkah?”
            Luhan mengangguk sambil tersenyum. Sebuah getaran kecil kembali dirasakan Irene ketika ia menatap senyuman Luhan. Dengan cepat ia berusaha menepis rasa itu. Menggelengkan kepala, agar getaran di hatinya segera lenyap.
“Kita bisa ke kampus bersama.” Ucap Luhan. Irene mengerjapkan mata sekali sebelum mengangguk. “Kedengarannya bagus.”
---000---
            Irene menuruni tangga yang menghubungkan lantai dua ke lantai dasar rumahnya. Ia baru saja bangun tidur. Sambil menggelung rambut panjangnya, gadis itu menuju ke arah kulkas dan mengambil sekaleng minuman dingin dari sana. Setelah meneguk minumannya, Irene mendengar bel rumahnya berbunyi beberapa kali. Akhirnya ia membukakan pintu, namun tidak ada siapapun di sana.
            Kepala Irene celingukan, tidak ada tanda-tanda kedatangan seorang tamu. Tapi ketika ia akan menutup pintu, ekor matanya melihat sebuah kotak di bawah kakinya. Irene mengambil kotak berwarna putih dengan hiasan pita itu dan membawanya masuk ke dalam rumah. Tidak ada nama pengirim yang tertera di sana.
            Kedua mata Irene sedikit membulat saat membuka kotak tersebut dan melihat isinya. Ada setangkai bunga mawar merah di dalam sana. Sepucuk surat juga tersemat di bawah mawar itu. Entah mengapa Irene merasa gugup saat membaca surat bertuliskan tulisan tangan yang rapi.
Untuk Irene, yang terindah.
Meskipun mawar ini tidak seindah diri dan senyummu, setidaknya biarkan aku memberikan sesuatu. Aku tidak tahu harus memberimu apa, jadi aku berikan setangkai mawar ini. Mereka bilang, mawar adalah lambang dari cinta. Tapi menurutku, mawar itu melambangkan dirimu. Karena kau seindah cinta, yang selama ini aku rasakan. Tolong simpan mawar ini, jaga agar tidak layu.
Luhan.
“Luhan?”
            Deg! Jantung Irene berhenti berdetak selama sedetik. Dalam lima menit, ia sudah membaca surat itu lebih dari sepuluh kali. Benarkah Luhan yang mengirimkan ini untuknya? Pria itu romantis sekali, batin Irene. Ia dan Luhan sudah mengenal lebih dekat satu sama lain. Tepatnya hari ini, adalah hari ke tiga puluh ia mengenal pria bernama lengkap Xi Luhan itu.
            Hei, Irene bahkan menghitungnya.
Dengan hati-hati, Irene mengeluarkan bunga itu dari kotak dan melepas plastik yang membungkusnya. Kemudian ia bergegas menuju dapur mengambil sebuah tempat yang terbuat dari kaca dan mengisinya dengan air dingin sampai tiga per empat bagian. Irene kembali ke kamarnya dan memasukkan bunga mawar merahnya ke tempat itu.
            Diletakkannya bunga itu di meja yang ada di samping tempat tidurnya. Jadi jika ia bangun tidur, bunga itu akan menyapanya. Mengucapkan selamat pagi.
“Ah, apa yang aku pikirkan? Itu ‘kan hanya sebuah bunga.” Gumam Irene. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh dering ponselnya. Ada telepon masuk dan begitu ia lihat layar benda berwarna putih itu, “Luhan?” Irene menjawabnya.
“Hallo..”
“Kau sudah menerimanya?”
“Um, sudah.”
“Apa isinya?”
“Bukankah kau yang mengirimkan? Seharusnya kau tahu apa isinya.”
“Sudah, katakan saja.”
“Baiklah. Bunga mawar merah.”
“Kau suka?”
“Aku suka. Terimakasih, Luhan.”
“Syukurlah kalau kau suka.”
            Irene tersenyum meskipun ia tahu, Luhan tidak melihat senyumannya saat ini. Tapi setidaknya ia berharap Luhan akan merasakan senyumannya yang kepalang manis itu. Irene benar-benar menyukai mawar. Dan ini Luhan yang memberikannya. Laki-laki yang telah memenuhi hatinya selama tiga puluh hari ini.
“Bisa kita bertemu hari ini?”
---000---
“Kita sudah bersama lebih dari dua tahun. Kau lihat cincin ini, Luhan? Kau memberikannya tepat di saat ulang tahunku. Kau melamarku, Luhan. Kau lupa dengan itu semua?”
“Apa? Maksudmu kita sudah bertunangan?”
            Luhan mengamati sebuah cincin yang melingkar di jari manis kiri gadis yang kini tengah mengacungkan pemantik api ke arahnya ini. Benar-benar tidak masuk akal. Luhan bahkan tidak merasa tengah mempunyai pacar saat ini. Dan seorang gadis tengah berapi-api mengatakan kalau mereka telah bertunangan?
“Kau jangan pura-pura bodoh, Luhan.”
“Jelaskan dari awal, bagaimana aku bisa bertemu denganmu.”
---000---
            Menyaksikan hamparan langit malam adalah kesukaan Irene. Apalagi dengan taburan kerlip yang berasal dari jutaan bintang. Dan di sinilah ia saat ini. Duduk di balkon kamarnya memandang background malam yang amat indah itu. Hal yang terindah dari ini semua adalah, ia bersama Luhan. Ada Luhan di sampingnya.
“Kau lihat bintang itu?” Tanya Irene sambil menunjuk sebuah bintang yang paling bersinar di matanya. “Mereka semua bintang,” sahut Luhan.
“Bukan. Lihat arah jariku menunjuk. Ada satu bintang yang paling terang di antara jutaan bintang itu.”
            Luhan mengikuti arah yang ditunjuk oleh jari Irene. Semuanya tampak sama. Memiliki sindar dan pendar yang sama. Ada yang berukuran lebih besar, tapi tidak lebih terang daripada bintang-bintang yang lain. Ah, gadis di sampingnya ini memang unik.
“Luhan, menurutmu bintang itu besar atau kecil?” Irene masih memandang langit malam.
“Mereka terlihat kecil. Tapi sebenarnya berukuran besar.” Jawab Luhan.
“Kau berkata mereka kecil karena kau melihatnya dengan mata. Jika kau melihatnya dengan pikiran, kau akan mengatakan bahwa mereka besar. Tapi jika kau melihat dengan hatimu, kau tidak akan peduli apakah bintang itu besar atau kecil, karena kau tahu seperti apa mereka itu.”
“Maksudmu?”
“Seperti bintang yang aku tunjuk tadi. Jika aku bisa mengumpamakan, bintang itu adalah dirimu. Tampaknya bintang itu sama saja dengan bintang yang lain. Tapi menurutku tidak. Bintang itu adalah yang paling terang, paling besar dan paling indah. Kau pasti tidak tahu bintang mana yang aku tunjuk, karena hanya aku yang tahu. Itu bintangku. Dan bintangku adalah Luhan.”
            Luhan menoleh, menatap wajah Irene yang bersinar di bawah langit malam. Sudah lama ia jatuh cinta pada gadis ini. Bahkan sejak pertama kali pertemuan di antara keduanya.
            Merasa tengah diperhatikan, Irene menolehkan kepalanya. Dan ia mendapati sepasang mata tengah berbinar menatapnya. Irene tersenyum, kebiasaannya jika Luhan tengah menatapnya. Entah mengapa ia juga tidak tahu. Senyumannya lepas begitu saja, bahkan mungkin ia akan terlihat seperti orang gila.
“Terimakasih,” ucap Irene. “kau hadir di saat aku butuh seseorang sepertimu. Kau bisa menyembuhkan lukaku dengan cepat, bahkan tidak berbekas sama sekali.”
“Aku bersyukur bisa menyembuhkan lukamu. Kau tahu, Irene. Kau terlalu indah untuk disakiti.”
            Irene menatap jauh ke kedua manik mata Luhan. Dan ia seperti jatuh ke dalam sebuah lubang hitam yang sangat dalam. Sangat dalam bahkan ia tidak akan pernah bisa keluar dari sana. Masuk ke dalam hati Luhan terasa seperti masuk ke sebuah labirin yang panjang dan penuh belokan. Sangat sulit menemukan garis akhir. Tapi Irene tidak pernah ingin terbebas dari sana. Ia ingin tetap di dalam labirin itu. Selamanya.
“Jangan pernah pergi, Luhan.” Bisik Irene pelan saat ia menyadari Luhan kini sangat dekat dengannya. Bahkan ia bisa menghirup nafas Luhan yang hangat. Luhan tengah menatapnya, tajam dan dingin. Sebuah tatapan yang tidak pernah ia lihat dari Luhan selama ini. Dan itu berhasil membuatnya gugup.
Irene memejamkan matanya, karena ia tahu apa yang akan Luhan lakukan selanjutnya. Dan itu benar. Irene merasakan sebuah sapuan lembut di bibirnya. Hanya tiga detik, lantas ia kembali merasakan udara dingin. Irene belum membuka mata. Terlalu gugup melihat reaksi Luhan jika melihat semburat merah di pipinya.
“Irene, apakah kau mencintaiku?”
            Suara halus Luhan akhirnya membuat Irene membuka mata. Dan kini ia dihadapkan oleh seraut wajah malaikat, meminta jawaban darinya. “Kau tahu,” jawabnya. “cinta tidak bisa menggambarkan apa yang aku rasakan saat ini, Luhan. Tidak cukup hanya dengan kata cinta. Apa yang aku rasakan terhadapmu saat ini, sangat lebih tingkatannya di atas cinta.”
Mendengar jawaban dari gadis pujaannya, Luhan tersenyum. Ia lantas mengeluarkan sesuatu dari balik jaket denim biru tuanya. Ada sebuah kotak kecil di genggamnya.
“Manusia biasa terlalu sulit untuk memahami apa arti yang sebenarnya dari cinta. Tapi aku akan berusaha semampuku, sekuat dayaku untuk mencintaimu. Menjagamu agar kau tidak layu, tidak ada setetes air matapun yang kau luncurkan dari kedua mata indahmu.” Luhan mengeluarkan sepasang cincin dari dalam kotak kecil berwarna merah itu. Ia meraih tangan kiri Irene dan menyematkan sebuah cincin di jari manisnya. “Karena cinta itu hakiki dan sangat mulia.”
            Irene terhenyak dengan kalimat yang keluar dari mulut Luhan barusan. “Hei, aku yang mahasiswa sastra saja tidak pernah membuat kalimat seromantis itu.” Komentarnya. Luhan hanya tersenyum, “Apakah untuk menjadi romantis harus dengan kuliah sastra terlebih dahulu?” Luhan menarik lembut tangan Irene dan membawanya ke dalam pelukan. Irene memeluk Luhan dengan erat. Menghirup feromon pria itu yang bercampur dengan udara malam.
“Yang terpenting adalah, aku mencintaimu.”
---000---
            Ucapan selamat dan bouquet bunga banyak diterima oleh Irene. Hari adalah hari ia menjalani wisuda  setelah empat tahun menempuh kuliah. Masih dengan memakai toga, Irene berfoto bersama beberapa temannya. Senyum terus menguar dari wajah cantiknya. Ia benar-benar bahagia. Namun ada satu hal yang membuatnya tersenyum semakin lebar, ketika ia melihat sosok Luhan berlari kecil menghampirinya. Luhan membawa bouquet mawar yang indah.
“Maaf, aku terlambat.” Sesal Luhan dengan nafas yang sedikit terengah. “Untung saja aku diperbolehkan masuk.”
“Acaranya belum selesai. Kau tidak perlu khawatir. Nah, kita belum berfoto bersama, kan?” sahut Irene. Ia mengeluarkan ponselnya dan menyerahkan benda itu pada salah satu temannya, “Tolong fotokan kami.” Pinta Irene. Ia dan Luhan lantas berpose, kemudian temannya mengambil foto mereka berdua.
“Terimakasih.” Ujar Irene. Temannya itu lantas pergi.
“Irene,” panggil Luhan. Irenepun menoleh, “Ya?”
“Selamat atas wisudamu.”
            Irene kembali tersenyum dan kali ini ia merasa kedua matanya sedikit tergenang air. Ketika Luhan menyerahkan bouquet mawar kepadanya. “Kau gadis yang pintar.”
“Terimakasih.”
            Luhan sudah menjalani wisuda dua bulan yang lalu bersama dengan mahasiswa dari beberapa fakultas lainnya. Untuk fakultas bahasa, wisuda harus ditunda karena beberapa hal. Hingga akhirnya diselenggarakan hari ini. Tidak masalah bagi Irene, karena ia mendapatkan hasil sebagai lulusan terbaik.
            Dan hubungannya dengan Luhan semakin baik. Irene merasa ini adalah hadiah terindah baginya, karena besok bertepatan dengan hari ulang tahunnya.
“Luhan,” gumam Irene. “Terimakasih kau sudah hadir dalam hidupku. Jika aku tidak bertemu denganmu hari itu, mungkin kita tidak akan bersama sampai detik ini.”
            Luhan memeluk Irene dengan erat. Dan pria itu bisa mendengar isak tangis Irene yang teredam oleh dekapannya dan juga riuh suasana hall, “Sssttt, kenapa kau menangis?”
            Irene melepaskan diri dari pelukan Luhan. Ditatapya wajah Luhan, sedikit berbayang. Irene lantas merasa dua buah jari mengusap pipinya, menyeka air mata yang membuatnya basah. Dan itu adalah iu jari Luhan. “Jangan menangis. Ini hari kelulusanmu.”
“Maaf, aku terlalu terbawa suasana.”
---000---
            Luhan turun terlebih dahulu dari mobil sedan hitamnya, kemudian berjalan ke sisi kanan untuk membukakan pintu bagi Irene. Irene lantas turun, menyambut uluran tangan Luhan dan menggenggamnya dengan erat. Kedua sejoli itu masuk ke sebuah restaurant perancis dan disambut ramah oleh pelayan disana. Luhan duduk di meja yang masih kosong. Dan Irene duduk di hadapannya. Seorang pelayan menghampiri keduanya dan menuangkan sampanye di gelas berleher tinggi yang ada di meja dan pergi. Lantas pelayan lain datang, memberikan daftar menu.
“Kau mau pesan apa?” Tanya Luhan sambil membalik-balik daftar menu. Irene menggumam sebentar. Kemudian pesanannya jatuh pada Beef Bourguignon. Sementara Luhan memesan Foie Gras. Pelayan muda itu mengangguk, meninggalkan Luhan dan Irene. Sambil menunggu pesanannya, Luhan mengatakan sesuatu apa yang selama ini ingin ia katakan pada gadis pujaannya itu.
“Irene,” panggil Luhan lembut. Irene menyahut, “Ya?”
“Ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu.”
            Sorot mata Luhan meminta gadis itu untuk menatapnya dalam-dalam. Tentu saja Irene terpaku, menatap lurus ke kedua bola mata Luhan. Menunggu apa yang akan Luhan ucapkan selanjutnya. Irene menyatukan kedua alisnya saat melihat Luhan mengeluarkan sesuatu dari balik jasnya. Dan sebuah kotak kecil berwarna merah kini ada dalam genggaman Luhan.
“Kau lihat ini?” Tanya Luhan. Kedua mata Irene membulat.
“A.. apa itu? Apa maksudnya?”
            Luhan tersenyum. Kemudian ia membuka kotak itu. Terdapat dua buah cincin emas putih bersemayam di sana. Irene nyaris memekik.
“Luhan,”
“Irene, menikahlah denganku.”
“A.. apa?”
“Aku tahu, kita baru saja menerima ijazah kita, aku belum mempunyai pekerjaan. Aku belum bisa menjanjikan apapun padamu, hanya cinta saja untuk saat ini. Tapi aku sungguh-sungguh. Aku akan membahagiakanmu.”
“Luhan, aku.. astaga.”
            Luhan mengambil salah satu cincin dari kotak dan meraih tangan Irene, gadis itu masih mengenakan cincin yang Luhan berikan tahun lalu. Ia tukar cincin lamanya dengan cincin emas putih yang ia genggam saat ini. Kedua mata Irene berkaca-kaca, dan akhirnya mengangguk pelan.
“Nah, pakaikan ini di jariku.” Pinta Luhan. Irene mengambil cincin yang lain dan menyematkannya di jari manis kiri Luhan. Cincin yang sangat pas.
“Jika aku sudah mendapat pekerjaan, aku akan menemui orang tuamu dan meminta izin untuk menikahimu.”
            Antara percaya dan tidak, Irene hanya tersenyum lebar. Bulir air mata kebahagiaan meluncur dengan bebasnya dari kedua mata indahnya.
“Terimakasih, Luhan.”
---000---
            Irene menatap layar ponselnya dengan gusar. Sudah tiga hari Luhan tidak menelponnya. Irene mencoba menghubungi kekasihnya terlebih dahulu, namun nomor Luhan tidak aktif. Ia juga mengirim pesan, tapi pesan-pesan itu tidak ada yang terkirim. Kemana sebenarnya pria itu? Apa yang telah terjadi sampai Luhan menghilang begitu saja?
            Selama tiga hari itu pula Luhan tidak sekalipun datang ke rumah Irene. Tepatnya sepuluh hari setelah Luhan melamarnya. Setelah malam itu, baik Luhan maupun Irene belum mengatakan hal itu kepada orang tua masing-masing. Mereka menunggu saat yang tepat.
            Tapi kenyataannya Luhan justru menghilang. Apakah ini bagian dari rencananya? Luhan adalah tipe pria yang penuh kejutan. Ia akan membuat Irene beharap kejutan-kejutan kecil lainnya setiap kali mereka membuat sebuah janji untuk bertemu misalnya. Dan Irene sangat menyukai itu, hal-hal kecil yang diberikan Luhan justru membuat cintanya pada pria itu semakin besar setiap harinya.
            Akhirnya Irene memutuskan untuk datang ke rumah Luhan. Namun saat masih bersiap-siap, ia mendengar bel rumahnya berbunyi sebanyak tiga kali. Segera Irene membukakan pintu dan berharap orang yang akan dilihatnya adalah Xi Luhan.
            Namun ia kecewa ketika ia membuka pintu, yang dilihatnya bukanlah Luhan.
“Apakah anda benar nona Irene?” Tanya orang itu. Tukang pos.
“Benar, saya sendiri.” Jawab Irene.
“Ada surat untuk anda.” Ujar tukang pos sambil menyerahkan sepucuk surat dengan amplop berwarna kelabu. Irene menandatangani bukti penerimaan surat, kemudian tukang pos itu pergi. Ditutupnya pintu rumah dan terkunci secara otomatis.
            Sambil membolak-balik amplop di tangannya –mencari identitas pengirim, Irene berjalan menuju kamarnya. Tapi karena tidak menemukan nama pengirim, Irene langsung merobek penutup amplop itu dan mengeluarkan isinya. Ada selembar kertas yang dilipat menjadi beberapa bagian. Irene mulai membacanya.
Untuk Irene yang terindah,
            Tentu kau sudah tahu berapa banyak cinta yang aku rasakan untukmu. Dan aku menulis surat ini masih dengan perasaan cinta yang meluap-luap. Aku terlalu takut untuk mengatakan ini padamu secara langsung.
            Irene, aku berdoa kau baik-baik saja, dan kau harus baik-baik saja meskipun itu tanpaku. Maaf, aku harus pergi. Aku tidak pernah meninggalkanmu, tapi hanya terlepas darimu. Aku tidak bisa meneruskan ini semua, karena jika kau terus hidup bersamaku, maka kau akan menderita. Aku tidak bisa memberikan kebahagiaan yang pernah aku katakan padamu. Kau terlalu indah untuk itu semua. Karena kau layak untuk bahagia.
            Terimakasih, kau telah hadir dan memberikan arti di hidupku yang sempit ini. Kau datang bagai cahaya ketika aku berada dalam gelap. Aku melakukan ini untuk kebaikanmu. Carilah tempat bersandar lain, yang lebih kuat dariku. Kau pasti akan menemukan kebahagiaan selain aku. Aku mencintaimu sampai kapanpun. Bahkan jika matahari tidak mampu lagi menghangatkan bumi, kau akan tetap di dalam hatiku. Menghangatkannya agar tidak beku meskipun kau telah menjadi matahari bagi yang lain. Tidak apa. Aku akan tetap mencintaimu.
Selamat tinggal, jaga dirimu baik-baik.
Luhan.
            Kedua mata Irene berkaca-kaca saat membaca tulisan tangan Luhan. Ia lantas menemukan surat lain. Dan tangis Irene pecah seketika saat ia menemukan surat persetujuan operasi. Ada tanda tangan Luhan di sana, menyetujui jika ia akan melakukan operasi amputasi pada kedua kakinya. Tapi kenapa Luhan harus melakukan itu semua? Apa alasannya?
            Dengan masih berurai tangis, Irene mengambil kunci mobil dan pergi ke rumah salah satu teman dekat Luhan. Orang itu pasti tahu. Tak lupa Irene membawa surat persetujuan operasi itu. Begitu sampai, Irene mengetuk pintu dengan brutal. Ia juga berteriak-teriak, “Suho! Buka pintunya! Suho! Aku harus bicara denganmu! Suho!”
            Satu menit kemudian, pintu rumah mewah itu terbuka dan Irene bertemu langsung dengan Suho. Pria itu tampak sedikit terkejut dengan kehadiran Irene.
“Ada apa, Irene?” tanyanya. Irene langsung menyodorkan surat di tangannya dengan kasar, “Apa artinya ini? Kau pasti tahu sesuatu.”
            Suho menerima surat itu dan membacanya. Kedua matanya membulat. Ia mengangkat kepala dan menatap wajah sembab Irene. Akhirnya gadis itu tahu. Dan Suho harus memberitahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Bagaimana kalau kita masuk terlebih dahulu. Kita harus membicarakan ini dengan kepala dingin.” Usul Suho. Ia tahu bahwa ini tidak akan bisa dibicarakan dengan kepala dingin. Gadis itu pasti akan histeris jika tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Tidak perlu! Katakan saja disini!” bantah Irene keras. Suho menghela nafas, “Baiklah. Tapi kau harus tenang.”
“Apa yang terjadi pada Luhan?”
“Tunggu sebentar. Ada sesuatu yang Luhan titipkan padaku.”
            Suho masuk ke dalam rumahnya dan tidak sampai satu menit kembali lagi.
“Dia menitipkan ini padaku agar diberikan padamu jika kau menanyakan keadaannya.”
“Memang apa yang terjadi padanya?” Irene mengamati benda yang diberikan Suho. Cincin yang ia tukar dengan Luhan beberapa hari yang lalu, di hari ulang tahunnya, saat Luhan melamarnya.
“Luhan mengalami kecelakaan tiga hari yang lalu. Dan itu membuatnya harus kehilangan kedua kakinya. Orang tua Luhan membawanya kembali ke Cina dan dirawat disana. Selamanya.”
---000---
            Irene membaca surat dari Luhan berkali-kali. Ia masih tidak percaya, Luhan pergi meninggalkannya. Padahal Irene tidak pernah menuntut apapun dari pria itu. Irene akan menerima Luhan apa adanya, dengan ataupun tanpa kedua kaki. Baginya Luhan adalah yang terbaik untuknya.
            Rasa sedih Irene meluap menjadi emosi yang tidak bisa ia kendalikan. Ia melempar surat di tangannya dengan keras ke udara. Kemudian ia memberantakkan apa-apa yang ada di kamarnya. Buku-buku di rak, peralatan make-upnya, selimut, bantal dan tempat tidur. Irene lantas mengambil vas bunga tempat ia merawat bunga-bunga mawar pemberian Luhan dan melemparnya ke dinding hingga pecah berderai.
            Irene menjerit histeris, menangis sejadi-jadinya. Ia merasa sangat kacau, tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Gadis itu merebahkan diri di atas tempat tidurnya yang berantakan dalam keadaan telungkup. Kedua tangannya mencengkeram selimut kuat-kuat.
“Jika aku bisa kembali ke masa lalu, aku akan membunuhmu, Luhan. Sebelum kita saling mengenal dan sebelum kau membuatku terjatuh padamu hingga sedalam ini.”
            Irene terus menangis. Keinginan di dalam hatinya sangat kuat. Lebih baik ia tidak pernah bertemu Luhan jika pada akhirnya ia harus kehilangannya. Irene harus menghilangkan semua kenangan yang berhubungan dengan Luhan. Dan caranya adalah dengan membunuhnya.
            Bahkan hingga jatuh tertidurpun, keinginan untuk membunuh Luhan masih tertanam kuat di dalam hatinya.
---000---
            Alarm di nakas kecil di samping tempat tidur Irene membangunkan gadis itu. Perlahan Irene membuka kedua matanya. Saat melihat keadaan sekelilingnya, Irene sedikit terkejut. Tempat tidurnya sama sekali tidak berantakan. Dan sedikit berbeda. Tidak ada foto-foto dirinya dan Luhan yang terbingkai manis. Tidak ada boneka hati yang tertulis namanya, tidak ada mawar. Semuanya sama seperti dulu, ketika ia belum bertemu dengan Luhan.
Apakah ia benar-benar kembali ke masa lalu? Irene berlari ke kaca, mengamati dirinya dari pantulannya. Tidak ada yang berubah. Model rambut, bahkan ia masih memakai pakaian yang sama seperti ia kenakan semalam. Irene lantas mengambil ponselnya dan melihat tanggal yang tertera di sana.
12 juni 2012. Itu tepat dua tahun yang lalu. Ini benar. Irene kembali ke masa lalu. Dan ia teringat dengan keinginannya semalam. Ia akan membunuh Luhan. Menyingkirkan pria yang sangat dicintainya dan juga ia benci. Irene harus melakukannya. Mencegah apa yang telah terjadi padanya agar tidak terulang kembali. Dan ia tahu dimana tempat untuk menemukan Luhan.
---000---
“Jadi namamu adalah Irene? Dan kau datang dari masa depan untuk membunuhku?”
“Kau tidak tahu betapa tersiksanya aku setelah kau pergi. Mengapa kau lakukan itu? Mengapa kau sama dengan pria-pria lain?”
            Luhan menggelengkan kepalanya. Gadis ini benar-benar tidak waras.
“Dengarkan ini, nona Irene. Aku minta maaf jika aku pernah menyakitimu. Dan juga atas kesalahanku yang belum pernah aku lakukan.”
“Katakan kalau kau mencintaiku, Luhan. Katakanlah sekali lagi.”
“Tidak. Aku bahkan tidak mengenalmu.”
            Gadis bernama Irene itu maju selangkah mendekati Luhan. Dan sontak Luhan mundur.
“Kalau begitu jangan katakan kalau kau mencintaiku. Dan biarkan aku membunuhmu.”
“Apa?”
            Pemantik api di tangan Irene terlempar ke arahnya. Menyambar ceceran bensin di sekitar tubuh Luhan dan perlahan api merambat ke sekujur tubuh Luhan. Dari tempatnya berdiri, Luhan bisa melihat wajah muram Irene tengah menatapnya. Ia juga bisa mendengar suara Irene terus menerus memanggil namanya.
“Luhan…”
“Tidak. Pergilah,”
“Luhan…”
“Tidak!”
            Luhan mengangkat kepalanya. Ia menelan ludah dan menoleh ke sekitar. Tidak ada keributan. Tidak ada aroma bensin, tidak ada kobaran api yang membakar tubuhnya. Yang ada adalah aroma kopi dan suhu dingin yang berasal dari air conditioner di dalam café. Di hadapannya terdapat laptopnya yang masih menyala dan beberapa lembar kertas.
“Luhan?” sebuah tangan menyentuh bahu Luhan dan sontak mengejutkan pria itu.
“Astaga!” seru Luhan. Jadi ia hanya bermimpi. “Suho, kau mengejutkanku.”
“Kau tertidur, jadi aku membangunkanmu.”
“Ya Tuhan,”
            Suho duduk di hadapan Luhan. Ditatapnya pria dengan rambut coklat itu yang tengah mengusap wajahnya. “Sejak kapan kau punya pemantik api? Kau merokok?”
“Apa?”
            Luhan mengambil pemantik api yang berada di samping laptopnya. Keningnya berkerut. Bagaimana bisa benda ini ada di mejanya? Sebelumnya tidak ada. “Entah. Ini bukan milikku dan aku tidak merokok.”
“Mungkin milik seorang pengunjung.”
            Kedua mata Luhan membulat saat mengamati benda kecil yang ada di tangannya saat ini. Benda ini mirip sekali dengan pemantik api milik gadis yang ia temui di mimpinya tadi. Ia lantas menatap Suho dan bertanya dengan hati-hati, “Apakah kau kenal dengan seorang gadis bernama Irene?”
“Irene? Tidak. Memangnya kenapa?”
“Ti.. tidak apa-apa. Aku hanya bertanya.”
            Suho mengangkat bahu. Dalam hati Luhan bersyukur. Jadi semua hal gila tadi memang benar-benar mimpi belaka. Tidak ada gadis bernama Irene, tidak ada gadis gila yang ingin membunuhnya. Ia dan Suho lantas mengerjakan tugas bersama. Sambil sesekali menyesap kopi masing-masing dan juga diselingi obrolan ringan.
            Tiba-tiba keduanya dikejutkan oleh seorang perempuan yang mendatangi mejanya. Luhan dan Suho mengangkat kepala saat perempuan itu berkata, “Permisi.”
“Ya?” sontak Luhan menutup mulutnya. Gadis ini, “Irene?” gumamnya sangat pelan.
“Saya ingin mengambil pemantik api yang ada di meja ini.”
“Oh,”
            Luhan memberikan pemantik api yang ada di samping laptopnya. “Ini milik anda?”
“Terimakasih. Ini memang milik saya.” Jawab perempuan itu. Luhan dan Suho mengangguk.
“Saya permisi dulu.” Ujarnya, lantas Luhan mendengar sebuah suara memanggil gadis itu.
“Irene! Cepatlah!”
            Gadis itu membungkukkan badan dan tersenyum pada Luhan, lantas pergi dari sana. Dari tempat duduknya, Luhan mengamati gadis itu pergi. Benar-benar mirip dengan sosok yang muncul dalam mimpinya tadi. Bahkan dari caranya tersenyum, itu memang Irene. Gadis yang ingin membunuhnya dengan pemantik api.
“Aku bisa gila,” gumam Luhan.
“Apa? Kau bicara sesuatu?” Tanya Suho saat mendengar gumaman pelan Luhan.
“Ah, tidak. Kita sudah sampai mana?”
“Nomor tujuh belas.”
“Kita harus segera menyelesaikannya.”

---END---


            Hai, sebelumnya makasih udah sempatin waktu buat baca fanfiction sederhana ini. Sebenernya ide cerita ini muncul pas liat video clipnya Letto – Permintaan Hati. Cerita ini bisa dibilang mirip sama itu video clip, meskipun aku kembangkan dengan gaya bahasaku sendiri. Dan belakangan lagi suka sama Irene, langsung deh kepikiran buat jadiin Irene sebagai main cast perempuan. Kenapa aku pasangin sama Luhan, gatau kenapa. Hihi soalnya dua-duanya wajahnya hampir mirip. Eh iya gak sih? Pokoknya imut-imut gitu kayak anak kecil wk.
            As always, jangan lupa komentar, kritik dan saran ya hiihi. Karena aku yakin ff ini banyak sisi gajenya :v
Byeee :*

Rabu, 07 Oktober 2015

TAEYEON (태연) – I (FEAT. VERBAL JINT) LYRICS WITH INDONESIAN TRANSLATION


HANGUL


빛을 쏟는 Sky  아래  아이 I
꿈꾸듯이 Fly My Life is a Beauty

[Verbal Jint]
어디서 많이 들어본 이야기
미운 오리와 백조  날기 전의 나비
사람들은 몰라 너의 날개를  
네가 만난 세계라는 
잔인할지도 몰라 But strong girl
you know you were born to fly
네가 흘린 눈물
네가 느낀 고통은 
 높이 날아오를 날을 위한
준비일  Butterfly
Everybody’s gonna see it soon

빛을 쏟는 Sky  아래  아이 I
꿈꾸듯이 Fly My Life is a Beauty

잊었던     그려내
움츠렸던 시간 모두 모아  삼켜내
작은 기억 하나 둘씩  깨워가
세상 가득 채울 만큼 나를 펼쳐가
길고  밤을 지나


다시 Trip 길을 떠나볼래
Why not 
 세상에
 맘을 깨워 주는 한마디

혼자였던 Yesterday
  없는 시선에
떨어지는 눈물로
하루를  견디고

[Taeyeon & Verbal Jint]
아슬했던 Yesterday
쏟아지던 말들에
흔들리는 나를  감싸고

빛을 쏟는 Sky  아래  아이 I
꿈꾸듯이 Fly My Life is a Beauty

My Life is a Beauty

꽃잎은 저물고 힘겨웠던 
작은 빛을 따라서
아득했던   멀리 보내고
찬란하게 날아가

빛을 쏟는 Sky 새로워진 Eyes
새로워진 Eyes  멀리로 Fly
Fly High Fly High
 나만의 Beauty

 감은 순간 시간은 멈춰가
 다시 떠올라


ROMANIZATION

bicheul sodneun Sky geu arae seon ai I
kkumkkudeusi Fly My Life is a Beauty

[Verbal Jint]
eodiseo manhi deureobon iyagi
miun oriwa baekjo tto nalgi jeonui nabi
saramdeureun molla neoui nalgaereul motbwa
nega mannan segyeraneun geon
janinhaljido molla But strong girl
you know you were born to fly
nega hollin nunmul
nega neukkin gotongeun da
deo nopi naraoreul nareun wihan
junbiil ppun Butterfly
Everybody’s gonna see it soon

bicheul sodneun Sky geu arae seon ai I
kkumkkudeusi Fly My Life is a Beauty

ijeotdeon kkum nae mam tto geuryeonae
umcheuryeotdeon sigan modu moa da samkyeonae
jageun gieok hana dulssik nal kkaewoga
sesang gadeuk chaeul mankeum nareul pyeonchyeoga

gilgo gin bameul jina
dasi Trip gireul tteonabollae
Why not i sesange
nae mameul kkaewo juneun hanmadi

honjayeotdeon Yesterday
sel su eomneun siseone
tteoreojineun nunmullo
harureul tto gyeondigo

[Taeyeon&Verbal Jint]
aseulhaetdeon Yesterday
sodajideon maldeure
hondeullineun nareul tto gamssago

bicheul sodneun Sky geu arae seon ai I
kkumkkudeusi Fly My Life is a Beauty

My Life is a Beauty

kkotipeun jeomulgo homgyeoweotdeon nan
jageun bicheul ttaraseo
adeukhaetdeon nal jeo meolli bonaego
challanhage naraga

bicheul sodneun Sky saerowojin Eyes
saerowojin Eyes jeo meolliro Fly
Fly High Fly High
nan namanui Beauty

nun gameun sungan siganeun meomchwoga
nan dasi tteoolla


INDONESIAN TRANSLATION

Cahaya tumpah di langit
Di bawahnya aku seperti seorang anak
Seperti sebuah mimpi, terbang
Hidupku adalah sebuah keindahan

Begitu banyak cerita yang telah kudengar dari suatu tempat
“Itik Buruk Rupa Dan Seekor Angsa”
“Seekor Kupu-kupu, Sebelum Bisa Terbang”
Tidak ada yang tahu, mereka tidak bisa melihat sayapmu
Dunia dimana aku bertemu denganmu,
Aku tidak tahu apakah kejam atau tidak
Tapi jadilah kuat, girl
Kau tahu kau terlahir untuk terbang
Air mata yang kau tangisi
Seluruh kesakitan yang kau rasakan
Maka di sanalah sebuah hari dimana kau terbang lebih tinggi
Siapkanlah dirimu untuk hari itu, wahai Kupu-kupu
Semua orang akan segera melihatnya

Cahaya tumpah di langit
Di bawahnya aku seperti seorang anak
Seperti sebuah mimpi, terbang
Hidupku adalah sebuah keindahan

Hatiku membayangkan lagi mimpi yang telah hilang
Lingkaran waktu kembali dengan sendirinya
Semuanya bertemu dan tertelan
Seluruh memori kecil terbangun suatu hari dalam satu waktu
Cukuplah mengisi dunia dan membukaku
Melewati malam yang panjang

Aku ingin melakukan perjalanan lagi
Dunia memberitahuku untuk bangun

Kemarin di saat aku sendiri
Dengan tatapan kosong yang tak terhitung
Dengan air mata yang terjatuh
Lagi, aku mengabaikan hari

Kemarin adalah hari yang mengejutkan
Kata-kata yang tertuang juga,
Mereka bergoyang dan membungkusku dengan kuat

Cahaya tumpah di langit
Di bawahnya aku sepert seorang anak
Seperti sebuah mimpi, terbang
Hidupku adalah sebuah keindahan

Hidupku adalah sebuah keindahan

Kelopak bunga menjadi gelap
Aku sudah kehilangan tenagaku
Aku mengikuti sebuah cahaya kecil menuju sebuah hari yang jauh
Bawa aku pergi, aku akan terbang dengan cemerlang

Cahaya tumpah di langit Dengan mata yang baru
Dengan mata yang baru terbang jauh bersamaku
Terbang tinggi
Dengan keindahanku sendiri

Saat aku menutup mataku, waktu terhenti
Dan lagi, aku melayang lagi


Credits
Hangul, Romanization : colorcodedlyrics
Eng trans : kpopviral
Indo trans by : meganurhidayah.blogspot.com

TAKE OUT WITH FULL CREDITS. THANK YOU