Senin, 01 Juni 2015

[FANFICTION] DESERVE

Annyeonghaseyo~
Dobibee posting fanfiction baru setelah sekitar 3 bulan gak posting ff hihi. Kali ini dengan cast baru yaitu bias utama; Park Chanyeol. Jangan lupa komentar, kritik dan saran, silent readers go away juseyo. Happy reading ^^
---


Title : Deserve
Cast : Park Chanyeol, Shin Hyoseung (OC)
Genre : Romance
Length : Oneshoot
Author : Dobibee           

Hyoseung mengamati cincin yang ada di genggamannya saat ini. Masih segar di ingatannya pada hari dimana seseorang memberikan benda ini padanya. Tepat tanggal ini, tiga tahun yang lalu. Saat itu ia masih menganggap bahwa semua hal yang ia terima adalah sebatas ‘cinta monyet’ belaka. Namun seiring dengan berjalannya waktu, Hyoseung merasa bahwa cinta ini sungguh-sungguh, kuat dan apa adanya. Tapi ada satu hal. Semakin besar rasa cintanya, semakin banyak pula tekanan yang ia terima. Dan kini ia tidak bisa lagi menahannya. Hyoseung harus melepaskannya.
            Sudah tiga puluh menit Shin Hyoseug duduk di kursi taman ini, tempat dimana ia akan bertemu dengan orang itu. Orang yang telah banyak mengukir senyum di bibirnya, tapi juga membuatnya harus memeras air mata diam-diam. Tidak, itu bukan salah sang pria. Itu adalah kesalahannya. Kesalahan karena jatuh cinta pada sosok yang terlampau sempurna.
            Hyoseung mendongakkan kepala saat tiba-tiba terdengar gemuruh dari langit sana. Hei, bahkan langitpun seolah ingin ia segera mengakhiri ini semua. Hingga akhirnya dari kejauhan sana tampak pria yang sudah ia tunggu. Senyum Hyoseung mengembang, dan luka di hatinya kembali basah.
“Maaf, aku terlambat. Kau sudah lama menunggu?” pria itu tergopoh. Tampaknya sangat kelelahan setelah berlari-lari menghampiri Hyoseung. Tapi Hyoseung menggeleng.
“Aku baru saja datang.” Bohongnya. Ia ingin menyelesaikan ini semua dengan cepat. Jika ia mengatakan berapa banyak waktu yang dihabiskan untuk menunggu, pasti pria ini akan meminta maaf sebanyak mungkin. Seolah-olah terlambat adalah dosa yang sangat besar. Tipikalnya sekali. Dan itu akan mengulur waktu Hyoseung.
“Syukurlah. Kau tahu, Hyo. Mobilku mogok jadi aku kesini menaiki subway. Ternyata ada peralihan jalur dan itu–“
“Chanyeol,”
            Pria berambut hitam dengan poni depan itu menghentikan rentetan kalimatnya ketika Hyoseung menyebut namanya. Memintanya berhenti berbasa-basi. Setidaknya itu yang ia duga.
“Ya?”
“Aku ingin mengatakan sesuatu.”
            Tangan kanan Hyoseung terangkat sampai ke dada Chanyeol. Masih mencengkeram kuat. Itu membuat Chanyeol mengerutkan keningnya. “Apa?”
“Kita harus berakhir.” Kalimat itu meluncur dengan bebasnya dari sela-sela bibir Hyoseung. Hyoseung tidak menyangka bisa selancar itu mengucapkannya. Padahal ia luar biasa gugup. Tentu saja Chanyeol terkejut. Ia bahkan sampai mengerjapkan kedua mata bulatnya sebanyak tiga kali. “Apa maksudmu?”
“Kita harus mengakhiri hubungan ini. Aku ingin berpisah darimu.”  Hyoseung tidak berani menatap ke dalam mata Chanyeol. Jika ia menatap mata indah itu, pertahanannya pasti akan goyah. Ia tidak mau itu terjadi.
“Kenapa, Hyo?” suara berat Chanyeol terdengar tajam di telinga Hyoseung. Ia tahu Chanyeol-nya kecewa dengan keputusan sepihak ini. Dan tentu saja terkejut karena sebelumnya mereka tidak mempunyai masalah. Bukan, mereka memang tidak punya masalah. Ini masalah Hyoseung sendiri. “Kenapa kau ingin kita berakhir?”
“Karena aku merasa ini semua tidak ada gunanya. Kau hanya membuang tiga tahun hidupmu untuk mencintai perempuan seperti aku.”
“Maksudmu, aku mencintai perempuan yang salah?”
“Iya. Aku tidak pantas bagimu.”
“Memangnya apa yang telah kau lakukan? Kau mengkhianatiku? Kau mencintai laki-laki lain?”
“Pengkhianatan adalah hal yang paling menjijikkan bagiku.”
“Lantas apa?”
            Nada suara Chanyeol mulai terdengar bercampur dengan amarah. Hyoseung memejamkan matanya. Pria ini sama dengan ibunya–Nyonya Park jika marah. Dan Hyoseung kembali terngiang kata-kata itu.
“Menjauhlah dari Chanyeol. Carilah pria lain. Yang sederajat denganmu.”
            Kedua mata Hyoseung terbuka ketika ia merasa sebuah genggaman erat di buku-buku jari tangan kirinya. Jari-jemari Chanyeol tampak besar mendekap tangannya. Terasa hangat dan akan selalu begitu. “Lihat aku, Hyoseung.”
            Hyoseung menurut begitu saja, mengangkat kepala dan otomatis mendalami manik mata Chanyeol. Ada sebayang air mata yang tertahan di sana. Ia tahu Chanyeol sangat keras menahan agar air mata itu tidak jatuh. “Apakah kau menyesal telah mencintaiku?” Tanya Chanyeol. Hyoseung menggeleng keras. Ia sama sekali tidak pernah menyesal telah mencintai pria bertubuh tinggi itu. Mencintai Chanyeol adalah hal terindah yang pernah dilakukan selama dua puluh satu tahun ia hidup. Dan sekaligus hal tersulit.
“Apa alasanmu ingin mengakhiri ini semua?”
“Karena kau adalah Park Chanyeol. Dan aku hanyalah seorang Shin Hyoseung, gadis miskin yang tidak pantas menjadi milikmu. Karena Park Chanyeol terlalu berharga.”
            Chanyeol mengela nafas dengan kesal. Seolah kalimat yang Hyoseung ucapkan adalah kalimat terbodoh yang pernah ada. Chanyeol menyentuh dagu Hyoseung.
“Apa yang telah dikatakan ibuku padamu?” Tanya Chanyeol. Tapi Hyoseung menggeleng pelan seraya menepis tangan Chanyeol. “Tidak ada yang beliau katakan. Aku hanya sadar diri.”
            Hyoseung melepas dekapan tangan Chanyeol pada tangannya. Tangan besar itu lantas ia raih dan Hyoseung memberikan sesuatu yang sedari tadi ada dalam genggamannya. Chanyeol benar-benar terkejut kali ini. “Kenapa kau kembalikan cincin ini?”
“Aku,”
“Dengar, Shin Hyoseung. Berapa kali aku harus mengatakan padamu, jangan dengarkan ibuku. Kita yang menjalani ini semua. Aku tahu kau bahagia bersamaku karena aku juga merasakan hal yang sama. Kau tahu, Hyoseung? Setiap kali aku terbangun dari tidur, namamu adalah yang pertama kali muncul di kepalaku. Lantas aku akan menelponmu, mendengar suaramu di pagi hari adalah alasan aku bisa melewati hari dengan penuh rasa syukur.”
            Kedua mata Hyoseung berkaca-kaca. Ia merasa begitu munafik. Bersikeras meminta pada Chanyeol untuk mengakhiri hubungan mereka, tapi di dalam hati ia meraung-raung agar Chanyeol tidak melepasnya. Dan itulah yang saat ini dilakukan pria pujaannya.
“Tapi,”
“Aku tidak mau lagi mendengar kalimat kau ingin mengakhiri hubungan ini. Kita tidak akan berakhir. Sampai kapanpun.”
“Chanyeol, dengarkan aku. Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu. Tapi ini adalah jalan terbaik bagi kita.”
“Terbaik apanya? Hubungan kita berakhir dengan alasan yang tidak jelas dan kau berkata ini yang terbaik?”
“Cinta tidak harus memiliki, Chanyeol.”
“Tidak. Bagiku cinta itu harus memiliki. Aku tidak bahagia jika aku hanya melihat. Kau pikir aku akan bahagia melihatmu menggenggam tangan pria lain –jika kita mengakhiri hubungan ini? Lantas kau tidak akan sakit melihatku memeluk perempuan lain selain dirimu?”
“Chanyeol jangan buat aku pusing.”
“Kau yang membuatku pusing, Hyo.”
            Hyoseung menggigit bibir bawahnya. Ia benar-benar berada dalam posisi yang sulit. Ia ingin melepas sosok Chanyeol, tapi ia juga masih menggenggamnya kuat-kuat. Ia menatap punggung Chanyeol yang tinggi, Chanyeol membelakanginya.
“Mengapa harus munafik, Hyo? Kau masih mencintaiku. Lantas mengapa kita tidak menjalaninya seperti biasa seperti tiga tahun selama ini.”
“Tidak akan bisa sama lagi, Chanyeol.”
            Chanyeol membalikkan badannya yang semula membelakangi Hyoseung, kini menghadap gadis itu. “Lantas apa maumu?”
“Bukankah aku sudah mengatakannya?”
“Baiklah. Kau mendapatkannya.”
            Chanyeol memasukkan cincin yang digenggamnya ke dalam saku celananya. Ia melangkahkan kakinya mendekati Hyoseung. Menatapnya lurus-lurus.
“Selamat tinggal, Shin Hyoseung. Jaga dirimu baik-baik.” Chanyeol mengusap kepala Hyoseung dengan lembut, kemudian mengecup dahinya selama tiga detik. Lantas pria dengan jaket hitam itu pergi. Sementara Hyoseung hanya menatap punggung Chanyeol yang semakin tampak kecil. Hingga akhirnya benar-benar lenyap dari pandangannya.
“Chanyeol,” setetes air mambasahi telapak tangannya. Hyoseung mendongakkan kepalanya. Mendung telah menggantung dengan gelapnya. Tapi hujan belum turun sama sekali. Butuh waktu sepersekian detik bagi Hyoseung untuk menyadari itu bukan tetesan air hujan. Itu adalah air matanya.
            Hingga akhirnya Hyoseung merasakan tetesan air jatuh di atas kepalanya. Satu tetes, dua tetes, lama-lama dalam jumlah konstan dan terus bertambah jatuh menghujaninya. Air yang tumpah dari langit itu mampu meredam tangis dan menyamarkan air mata Hyoseung. Tapi masih belum bisa menghapus jejak luka yang tergores di permukaan hatinya. Chanyeol-nya telah pergi. Dan itu atas permintaannya.
“Bye, Park Chanyeol.”
            Hyoseung membalikkan badannya meninggalkan taman itu. Ia tidak peduli meskipun hatinya sangat pedih, ia berharap Chanyeol bisa mendapatkan gadis yang lebih baik darinya. Chanyeol pantas akan itu. Dan gadis itu bukan dirinya.

---end---


0 komentar:

Posting Komentar