Selasa, 24 Februari 2015

FANFICTION [SONGFICT] - AS LONG AS YOU LOVE ME


Songfict – As long as you love me
Cast : Jung Hoseok (BTS J-HOPE), Lee Jikyung (OC)
Genre : Romance, angst
Length : Oneshoot
Author and cover art : Dobibee


Happy Reading^^

=== 

Summary : We both know it’s a cruel world, but I will take my chances


Mendung mulai menggelayuti langit kota Seoul. Seorang pemuda tengah duduk di taman kota. Hatinya gelisah, diliputi rasa khawatir dan was-was. Ia tengah menunggu kehadiran seseorang sejak setengah jam yang lalu. Jangan-jangan orang yang ditunggunya tidak akan datang? Tapi semua dugaannya langsung sirna saat dari tempatnya duduk, ia melihat sosok yang telah ia tunggu.
            Senyumnya mengembang, namun ada juga rasa pedih di dalam hatinya. Hingga akhirnya sosok yang ia tunggu duduk di sampingnya. “Oppa, maaf aku terlambat. Kau tidak marah, kan?”
“Untuk apa aku marah, hm? Memangnya kenapa kau terlambat?”
“Ayah sempat menginterogasiku.”
“Lantas?”
“Aku berbohong padanya. Aku bilang kalau aku akan menemui temanku.”
“Kau berbohong pada ayahmu?”
“Oppa, kalau aku tidak berbohong, aku tidak akan bisa menemuimu.”
            Pria yang dipanggil oppa itu –Jung Hoseok– menghela nafas. Ia sadar hubungannya dengan gadis ini –Lee Jikyung– sudah begitu susah sejak awal. Ayah Jikyung sangat menentang gadis itu berhubungan dengannya. Hoseok sadar, ia tidak pantas untuk Jikyung. Lee Jikyung, gadis cantik yang berstatus sebagai putri tunggal seorang direktur di sebuah perusahaan besar di Korea. Sedangkan dirinya? Hanya penari jalanan yang tidak berpenghasilan tetap.
“Jangan pernah berbohong lagi pada ayahmu, Jikyung. Beliau pasti kecewa jika tahu kau membohonginya.”
“Oppa, aku melakukan ini semua demi bertemu denganmu.”
“Tapi…”
            Jikyung beranjak berdiri dan kembali memakai tasnya. Hoseok menatapnya dengan bingung. “Kau mau kemana?”
“Aku mau pulang.”
“Pulang? Tapi kau baru saja sampai. Bukankah kita akan jalan-jalan?”
“Bukankah kau tidak suka jika aku berbohong? Kalau aku terus bersamamu saat ini, itu artinya aku membohongi ayahku. Itu kan yang kau maksud? Lebih baik aku pulang.”
“Jikyung, bukan begitu.”
“Lantas apa?”
            Hoseok menarik tangan Jikyung pelan, meminta gadis itu agar kembali duduk di sampingnya. Hubungannya dengan Jikyung benar-benar rumit.
“Aku minta maaf. Aku hanya takut terjadi apa-apa padamu jika ayahmu tahu kau datang menemuiku.”
“Tidak apa-apa. Ayahku akan ke luar kota setelah ini. Kau tidak perlu khawatir.”
“Baiklah. Kau ingin jalan-jalan kemana?”
“Um, bagaimana kalau kita menonton bioskop? Ada film bagus.”
“Boleh. Ayo!”
            Jung Hoseok menggenggam tangan Jikyung, lantas keduanya berdiri. Dengan menggunakan sebuah subway, mereka menuju gedung bioskop. Selama perjalanan, Jikyung menyandarkan kepalanya di bahu Hoseok. Ia mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya. Kemudian mengajak Hoseok untuk mengambil sebuah selca bersama.
“Tumben sekali kau terlihat tampan, oppa.” Gumam Jikyung sambil memperhatikan hasil fotonya.
“Ya! Memangnya selama ini aku terlihat jelek?”
            Jikyung tertawa kecil. Ia melirik Hoseok dan pria itu masih menatapnya dengan tajam. Jikyung menjulurkan lidahnya, mengejek kekasihnya itu.
“Jelek.”
“Kau juga jelek.”
“Kalau aku jelek, kenapa kau menyukaiku?”
“Kau juga mau menerima cinta orang jelek sepertiku, huh?”
Dengan gemas Hoseok mencubit pipi Jikyung. “Besok aku akan menari lagi. Kau mau menontonnya?”
“Dimana?”
“Di tempat biasanya. Di dekat Hongdae.”
“Baiklah. Aku akan menontonnya.”
===
            Jikyung membuka pintu rumahnya dan ia langsung terlonjak saat melihat ayahnya ada di hadapannya. “Ayah?”
“Kau mau kemana, Jikyung?”
“Um, aku akan…”
“Pergi lagi?”
“Bukankah ayah ke luar kota tadi siang?”
“Lantas jika ayah ke luar kota, kau bisa keluar rumah sesuka hatimu?”
“Bu.. bukan begitu.”
“Kau akan menemui berandalan itu lagi?”
“Maksud ayah?”
“Penari jalanan itu.”
“Ayah, Hoseok bukan berandalan. Aku mohon pada ayah, jangan menyebutnya berandalan lagi.”
“Dia memang berandalan, Jikyung! Dia hidup di jalanan!”
“Dia tidak seperti itu. Hoseok pria yang baik.”
            Ayah Jikyung masuk ke dalam rumah. Jikyung masih berdiri di ambang pintu. Ia tidak akan keluar rumah dengan mudah jika ayahnya ada. Apalagi tujuannya adalah untuk menonton Hoseok menari.
“Kenapa kau masih berdiri di sana? Masuk! Ayah melarangmu keluar.”
Jikyung mendengus kesal. Ia lantas membanting pintu dan berlari menaiki tangga menuju kamarnya yang ada di lantai 2. Mengabaikan ayahnya yang memanggilnya dari bawah. Ia benar-benar kesal dengan sang ayah. Jikyung menutup pintu kamarnya dengan keras, menguncinya dan membanting tubuhnya di atas tempat tidur.
Matanya terasa panas. Sedetik kemudian air mata sudah membasahi wajahnya. Jikyung lantas mengambil ponselnya dan menelpon Hoseok.
“Hallo..”
“Ada apa, Jikyung? Kau jadi datang, kan? Sebentar lagi aku akan menari.”
“Oppa, aku minta maaf. Sepertinya aku tidak bisa datang.”
“Apa? Tapi kenapa?”
“Ayah melarangku.”
            Jikyung hanya mendengar helaan nafas berat dari seberang telepon. Ia tahu Hoseok pasti kecewa. “Maafkan aku, oppa.”
“Tidak apa. Istirahatlah di rumah. Besok aku akan menjemputmu di kampus.”
“Benarkah? Baiklah kalau begitu. Besok kuliahku selesai pukul 4 sore. Kita bisa jalan-jalan terlebih dahulu.”
“Itu ide yang bagus. Nah, aku harus mencari uang agar besok bisa membelikan apa yang kau inginkan.”
“Sampai jumpa besok, oppa. Aku mencintaimu.”
“Aku juga mencintaimu, Jikyung.”
“Bye..”
Jikyung mengakhiri panggilannya. Ayahnya benar-benar keterlaluan. Seandainya saja ayahnya mau mengenal Hoseok lebih dekat, Jikyung yakin pemikiran ayahnya tentang pria itu akan langsung berubah. Hoseok adalah pria yang baik dan menyenangkan. Meskipun tidak sempat mengenyam pendidikan di universitas, satu hal yang paling membuat Jikyung kagum padanya adalah sifat mandiri yang dimiliki pria itu. Hoseok memang bukan berasal dari keluarga yang berada seperti dirinya. Ia hidup bersama kakak perempuannya. Kedua orang tuanya bercerai saat Hoseok masih duduk di bangku SMA.
            Sejak saat itu, Hoseok memutuskan untuk menjadi penari di sekitar kawasan Hongdae. Bakat dance yang dimilikinya memang luar biasa. Setiap malam, jalanan Hongdae selalu ramai oleh pejalan kaki dan penjual makanan. Hoseok memanfaatkan keramaian itu untuk mencari uang. Dulu sepulang sekolah, ia langsung menari sampai pukul 12 malam. Lantas ia pulang dan mengerjakan tugas sekolahnya.
Pertemuan antara Hoseok dan Jikyung pertama kali terjadi ketika Jikyung bersama temannya menonton pertunjukan Hoseok. Gadis itu tertarik dengan seorang dancer. Kebetulan teman Jikyung kenal oleh salah satu dancer di sana.
“Kau tahu siapa dancer dengan kaos hitam dan beanie hitam bertuliskan hope itu?” tanya teman Jikyung pada Jungkook. Dancer termuda di grup dance itu.
“Oh, itu Hoseok hyung. Dia dancer terbaik di grup kami. Ada apa?”
“Temanku tertarik padanya.”
“Benarkah? Aku bisa mengaturkan sebuah pertemuan untuk mereka.”
            Awalnya Jikyung merutuki mulut temannya yang bicara seperti itu tadi. Tapi akhirnya, pertemuan yang direncanakan secara mendadak itu bisa membuat hati seorang Lee Jikyung meleleh oleh dancer bernama Jung Hoseok. Setelah memperkenalkan diri masing-masing, keduanya mengobrol ringan. Menanyakan usia, alamat rumah dan sedang kuliah dimana. Kesan pertama yang Jikyung dapat dari Hoseok adalah, pria itu sangat sopan.
Sejak saat itu, mereka berdua semakin sering bertemu. Hingga akhirnya Hoseok mengatakan kalau ia menyukai Jikyung. Rupanya perasaan Hoseok bukanlah cinta sepihak saja. Jikyung menerimanya. Lantas keduanya memutuskan untuk saling mencintai. Mengisi hati satu sama lain. Dan itu sudah berlangsung sampai detik ini. Selama 1 tahun.
===
            Jikyung berlari kecil keluar dari gerbang kampusnya. Ia sudah bisa melihat Hoseok tengah menunggunya di tepi trotoar. Begitu berdiri di hadapan Hoseok, Jikyung langsung memeluknya. Hoseok sedikit heran dengan tingkah kekasihnya itu.
“Ada apa, Jikyung?” tanya Hoseok.
“Kenapa? Aku tidak boleh memelukmu?” Jikyung melepas pelukannya.
“Bukan begitu. Tumben saja kau langsung memelukku.”
“Lain kali kalau aku bertemu denganmu, aku akan langsung memukulmu.”
“Ya! Tega sekali kau ini.”
Hoseok mengacak pelan rambut Jikyung. Keduanya lantas berjalan meninggalkan kampus. Seperti biasa, mereka berkencan dengan menaiki subway. Jikyung sama sekali tidak merasa malu atau keberatan meskipun Hoseok tidak pernah mengajaknya berkencan dengan mobil mewah. Menurutnya, kencan dengan menaiki subway itu lebih romantis. Ia bisa menyandarkan kepalanya pada bahu Hoseok, menggengggam tangannya, atau yang lain.
“Kau sudah makan?” tanya Hoseok saat mereka di dalam subway.
“Belum. Dan kebetulan aku lapar.”
“Bagus. Ayo kita makan dulu. Kau mau makan apa?”
“Um, aku ingin naengmyun.”
“Baiklah.”
            Jikyung menyandarkan kepalanya di bahu Hoseok. Tangan keduanya saling bertautan. Yang membuat Hoseok bersyukur adalah, Jikyung tidak pernah menuntut apapun darinya. Ia mau menerima Hoseok apa adanya.
“Kudengar kakakmu akan segera menikah, oppa?”
“Masih sebatas rencana.”
“Aku juga ingin menikah denganmu.”
“Apa?”
            Hoseok menoleh pada Jikyung yang kini mengangkat kepalanya. Menatap gadis itu dengan sedikit heran. “Ada yang salah?” tanya Jikyung.
“Um, kalau kau ingin menikah denganku, kau harus menyelesaikan kuliahmu terlebih dahulu. Dan, aku juga harus mempunyai pekerjaan dulu. Baru aku bisa melamarmu.”
“Oppa..”
“Hm?”
“Tidak ada. Lupakan saja.”
“Kau tidak apa-apa, Jikyung?”
“Aku baik-baik saja.” Ujar Jikyung sambil menundukkan kepalanya. Ia hanya berharap agar ayahnya mau menerima Hoseok.
            Tak lama kemudian, mereka sampai di sebuah restaurant. Turun dari subway, masuk ke restaurant dan duduk di meja yang masih kosong. Seorang pelayan mendatangi mereka dan mencatat pesanan.
“Oppa, nanti malam kau menari lagi?” tanya Jikyung.
“Sepertinya tidak. Memangnya kenapa?”
“Sayang sekali, aku ingin sekali melihatmu menari. Sudah lama sekali aku tidak melihat pertunjukanmu.”
“Emm, tunggu sebentar.”
            Hoseok mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya lantas menjawab telepon salah seorang teman dancernya. “Hallo.. Jimin. Apa? Emm, begitu? Baiklah.”
Dengan berbinar, Hoseok mengakiri panggilannya dan menatap Jikyung. Semantara Jikyung menopang dagunya dengan kedua tangan. Menanti apa yang akan dikatakan Hoseok kepadanya.
“Aku akan menari malam ini.”
“Apa? Bukankah tadi kau bilang…”
“Jimin tidak bisa menari malam ini. Ia baru saja mengatakan hal itu dan memintaku untuk menggantikannya.”
“Benarkah? Kebetulan sekali, oppa. Aku akan menontonmu.”
“Tapi, kali ini kau benar-benar akan melihatku menari, kan? Aku khawatir dengan ayahmu.”
“Tidak perlu khawatir. Ayahku benar-benar ke luar kota hari ini.”
            Pesanan merekapun datang. Hoseok dan Jikyung menyantap makanannya. Sambil diselingi obrolan-obrolan kecil yang membuat suasana di antara keduanya semakin hangat.
Sesekali, Hoseok menatap Jikyung dalam-dalam. Ia merasa sangat beruntung bisa memiliki gadis ini. Gadis cantik itu sadar ketika Hoseok memperhatikannya. Jikyung menanggapinya hanya dengan sebuah senyuman manis. “Oppa, apa yang kau lihat?”
“Kau.”
“Aku?”
“Aku melihatmu. Kenapa? Tidak boleh?”
“Bukannya begitu.”
            Hoseok tertawa kecil. Ia akan memberikan penampilan terbaiknya untuk Jikyung nanti malam.
===
            Suasana jalanan di kawasan Hongdae sudah ramai sejak senja tadi. Di salah satu sudut jalan, terdapat kerumunan dan terdengar alunan musik hip hop. Dan Jikyung ada di sana. Ia sangat antusias melihat para dancer menunjukkan kemampuan menarinya. Tentu saja karena salah satu dari mereka adalah kekasihnya. Dengan sebuah kamera DSLR, ia memotret Hoseok dalam berbagai aksi. Juga ketika Hoseok melakukan split sempurna, kemudian langsung melompat.
            Hati Jikyung terasa perih ketika orang-orang melemparkan uang, kemudian para dancer memungutinya –termasuk Hoseok. Setelah memasukkan uang ke dalam tas kecil yang ada di dekat tape, mereka membungkukkan badan –mengucapkan terimakasih– lantas kembali menari.
Malam semakin larut dan suasana semakin ramai. Jikyung masih memotret aksi grup dance Hoseok. Tiba-tiba keributan terjadi di tengah kerumunan itu. Seorang pria mabuk mengamuk dan menyuruh orang-orang untuk pergi. Banyak orang yang memilih menghindar dengan cara pergi dari sana, namun ada juga yang masih di tempat masing-masing.
“Hei, nona! Kenapa kau masih di sini, ha? Aku menyuruhmu pergi!”
“Memangnya jalan ini milikmu? Kau yang membuat kekacauan, seharusnya kau yang pergi!”
“Dasar tidak punya sopan santun!”
            Mendengar keributan, Hoseok mematikan musik dan menghentikan tariannya. Ia terkejut saat melihat sumber keributan itu –si pria mabuk tengah beradu mulut dengan Jikyung. Pria berbadan besar itu berbicara pada Jikyung dengan nada suara tinggi. Jikyung tingginya hanya sebahu orang itu, tapi menyahutinya dengan nada tinggi juga. Tiba-tiba, Jikyung mendapat sebuah tamparan di pipinya. Segera Hoseok menghampiri keduanya dan ia langsung mendorong tubuh si pria mabuk sampai terjatuh.
“Dasar sampah masyarakat! Kau mau cari mati, huh!”
“Hei, siapa kau ini? Berani sekali kau mendorongku! Kau tidak tahu siapa aku?”
“Untuk apa aku harus tahu orang tidak berguna sepertimu?”
“Dasar pengamen rendahan!”
            Emosi Hoseok yang sudah tersulut sejak tadi langsung meledak. Ia memukul orang itu bertubi-tubi. Jikyung menutup mulutnya. Ia berteriak berkali-kali agar Hoseok menghentikan perbuatannya. Dan teman-teman Hoseok berhamburan untuk melerai perkelahian antara Hoseok dan orang mabuk itu.
“Hyung! Sudah, hyung!”
“Dasar orang tidak berguna, sekali lagi kau berani menyentuhnya, aku akan langsung membunuhmu!”
“Hyung, hentikan! Ayo pergi dari sini.”
“Aku harus memberinya pelajaran.”
“Kau sudah memberinya pelajaran, hyung. Ayolah! Sebelum polisi menangkap kita.”
            Teman-teman Hoseok menarik tangannya agar pergi dari sana. Jikyung ditarik oleh Jungkook agar ikut pergi. Mereka meninggalkan tempat itu dengan mobil milik Taehyung, yang juga seorang dancer.
“Keterlaluan! Dasar sampah!” umpat Hoseok. Jikyung hanya menghela nafasnya.
“Sudahlah, oppa. Dia mabuk.”
“Dia menamparmu, Jikyung.”
“Memang. Tapi sekarang kita tidak bertemu dengannya lagi, kan?”
            Hoseok melihat pipi Jikyung masih terdapat bekas kemerahan. Pasti orang itu menamparnya dengan sangat keras. Hoseok menyesal karena ia tidak lebih cepat menghampiri Jikyung tadi.
“Kita sudah sampai.” Ujar Taehyung saat mereka sampai di depan rumah Jikyung.
“Terimakasih, Kim Taehyung. Oppa, maukah kau menemaniku? Ayah masih di luar kota.”
“Apa?”
            Teman-teman Hoseok juga menyuruh Hoseok untuk ikut turun. Akhirnya ia menuruti dan turun bersama Jikyung.
Keduanya masuk ke rumah Jikyung. Suasana memang sepi karena ayah Jikyung masih di luar kota. Jikyung melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. Sudah pukul 11 malam. Ia berjalan ke kamarnya yang ada di lantai 2. Begitu sampai, ia melihat pipinya di kaca rias. Memar yang semula berwarna merah itu mulai menampakkan lebam berwarna biru.
“Aw.” Pekiknya pelan saat ia menyentuh lukanya.
“Jikyung?” sebuah suara membuat Jikyung menolehkan kepalanya. Hoseok berada di ambang pintu kamar, tampak sangat khawatir.
“Oppa..”
            Melihat memar yang semakin parah di pipi Jikyung, Hoseok masuk ke kamar gadis itu. Dan benar saja. Saat Hoseok menhyentuh pipi Jikyung, gadis itu memekik kesakitan.
“Kita harus ke dokter, Jikyung. Lukamu harus segera diobati.”
“Tidak perlu. Aku tidak apa-apa.”
“Jikyung..”
            Jikyung tersenyum tipis. Ia lantas menyentuh pipi Hoseok. Genangan air mata menyeruak dari kedua mata indahnya saat menatap wajah Hoseok yang sarat akan rasa letih.
“Terimakasih, oppa.”
“Untuk apa?”
“Kau menghajar orang itu.”
“Dia berani menyakitimu, Jikyung. Aku akan menghajar siapapun yang berani membuatmu terluka.” Hoseok mengusap kepala Jikyung. Dengan jari-jarinya, ia menyentuh dagu Jikyung. Menolehkan kepala Jikyung agar ia bisa melihat keadaan pipi kekasihnya.
“Aku akan ambil air hangat untuk mengompres memarmu.”
            Hoseok keluar dari kamar Jikyung dan beberapa saat kemudian, ia kembali dengan baskom berisi air hangat dan handuk kecil. Jikyung duduk di tepi tampat tidurnya. Perlahan, Hoseok mencelupkan handuk ke air hangat, memerasnya dan menempelkannya ke pipi Jikyung. Gadis itu memejamkan mata menahan sakit. Melihat reaksi Jikyung, Hoseok langsung menarik handuk di tangannya.
“Maaf.” Ujarnya.
“Tidak apa.” Sahut Jikyung. Hoseok kembali mengompres pipi Jikyung. Sambil sesekali menyingirkan rambut-rambut yang menempel di sana. Jikyung menatap pria itu dalam-dalam. Ia bahagia, namun juga merasakan debaran jantungnya yang semakin cepat.
“Kenapa kau menatapku seperti itu, huh?” tanya Hoseok sambil melirik Jikyung sekilas.
“Aku beruntung bisa memilikimu, oppa.”
‘Bukankah sebaliknya? Aku yang beruntung bisa memiliki gadis sepertimu.”
“Kita beruntung karena saling memiliki.”
            Hoseok menurunkan tangannya. Kini giliran ia yang menatap Jikyung dalam-dalam. Salah satu tangannya menyentuh pipi Jikyung yang tidak memar. Senyumnya mengembang. Jikyung menggenggam pergelangan tangan Hoseok yang menyentuh pipinya.
 “Aku berjanji, bahwa kau adalah satu-satunya gadis yang akan aku perjuangkan, Jikyung. Sampai akhir hidupku.” Kata Hoseok pelan namun bisa didengar jelas oleh Jikyung. Gadis cantik itu mengangguk.
“Aku mencintaimu, oppa.”
            Hoseok mendekatkan wajahnya ke wajah Jikyung. Perlahan, ia menyentuh bibir Jikyung dengan bibirnya. Menciumnya dengan lembut, semakin lama semakin dalam. Jikyung memejamkan matanya. Kedua tangannya ia lingkarkan di bahu Hoseok. Lantas ia menekan tengkuk Hoseok agar menciumnya semakin dalam. Jikyung membuka bibirnya, memberikan Hoseok keleluasaan.
            Kedua tangan Hoseok turun ke bahu Jikyung, mendorongnya pelan hingga gadis itu terbaring di atas tempat tidur. Hoseok melepaskan ciuman mereka sesaat untuk menatap wajah Jikyung. Jikyung membuka matanya, menatap ke dalam manik mata Hoseok. “Kenapa kau berhenti, oppa?” gumam Jikyung. Hoseok menempatkan dirinya berada di atas tubuh Jikyung. Ia lantas kembali mengecup bibir kekasihnya. Beberapa kecupan kecil dan berlanjut ke lumatan yang lembut namun intens. Jikyung mendorong bahu Hoseok, lantas merubah posisi hingga kini Jikyung yang berada di atas Hoseok. Kedua kakinya ia pakai untuk mengapit tubuh Hoseok.
            Dengan kedua tangan yang ia jadikan tumpuan, Jikyung kini menghujani Hoseok dengan ciuman-ciuman. Ini bukan ciuman pertamanya dengan Hoseok, namun ini adalah ciuman terlamanya. Biasanya, ia dan Hoseok berciuman tidak lebih dari 30 detik. Dan mereka belum pernah berciuman di atas tempat tidur seperti ini. Meskipun akan ada kemungkinan terjadi sesuatu yang lebih dari berciuman, Jikyung seolah tidak peduli. Kalaupun Hoseok memintanya, maka ia akan memberikannya.
            Hoseok perlahan mengangkat tubuhnya. Kedua tangannya ia pakai untuk membimbing Jikyung agar duduk di pangkuannya. Lantas mengarah ke tengkuk Jikyung dan menekannya dalam-dalam. Ketika nafasnya mulai habis, Jikyung menarik diri dari ciuman Hoseok. Namun salah satu tangannya ia pakai untuk menekan tengkuk Hoseok agar mencium lehernya.
Jikyung mengadahkan kepalanya. Nafasnya tertahan saat ciuman Hoseok turun ke bahunya. Dan kini ini merasakan sebuah hisapan kecil di sana.
“Oppa…” pekik Jikyung pelan. Hoseok mengangkat kepalanya. Pria 22 tahun itu menatap wajah Jikyung.
“Apakah aku sudah berlebihan?”
“Um, tidak. Bukan begitu.”
            Jikyung mengecup bibir Hoseok singkat, lantas menyingkir. Ia berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan wajahnya dengan air hangat. Karena ia tidak pernah tidur dengan sisa make-up yang menempel di wajahnya. Beberapa saat kemudian, ia kembali ke kamarnya. Ia melihat Hoseok melepas jaketnya, kemudian pria itu berjalan menghampiri Jikyung.
“Tidurlah. Kau pasti lelah.”
“Kau mau kemana, oppa?”
“Aku akan tidur di bawah.”
“Kau tidak tidur di sini?”
“Tidak. Sepertinya belum pantas kalau aku tidur bersamamu. Selamat malam, Jikyung.”
“Kau tidak akan pergi, kan, oppa?”
“Tentu saja tidak. Aku akan bermalam di sini. Lagipula sudah tidak ada bus larut malam begini.”
“Baiklah. Selamat malam, oppa.”
“Mimpi indah.”
            Hoseok keluar dari kamar Jikyung menuju ruang tengah. Ia merebahkan diri di atas sebuah sofa. Ia tidak langsung tidur. Memandang ke langit-langit rumah Jikyung yang tampak begitu tinggi. Dan ia merasa begitu rendah diri. Jika dibandingkan dengan Jikyung, ia bukan apa-apa. Terkadang Hoseok merasa ingin mengakhiri hubungannya bersama sang kekasih yang ia cintai. Bukan karena apa-apa. Tapi Hoseok merasa tidak pantas untuk bersanding dengan Jikyung. Karena Jikyung terlalu berharga.
Tanpa ia sadari, 2 bulir air mata meluncur di pipinya. Hoseok memejamkan mata, mencoba menepis semua perasaan rendah diri itu. Ia sudah berjanji pada Jikyung untuk memperjuangkan gadis itu sampai akhir hidupnya. Meskipun ayah Jikyung menentangnya, Hoseok akan tetap berjuang.
===
            Sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti di depan universitas Seoul. Penumpang mobil itu menunggu seseorang keluar dari gerbang kampus. Ia sendirian. Lantas ia membuka kaca jendela mobilnya. Menyalakan sebatang rokok untuk mengusir rasa jenuh. Tak lama kemudian, ia melihat kehadiran seorang pemuda dengan jaket hitam, celana jeans hitam dan beanie hitam. Emosinya sedikit terpancing, tapi ia harus tetap di dalam mobil. Kalau ia keluar dari mobil, rencananya bisa gagal. Akhirnya ia tetap pada tempatnya, sambil menghabiskan rokoknya.
Dari dalam mobil ia melihat pemuda itu berdiri di bawah sebuah pohon. Ia sudah tahu apa yang ditunggu sang pemuda. Karena mereka menunggu seseorang yang sama. Penampilan yang ala kadarnya membuatnya semakin membenci pemuda itu. Seperti itukah pria yang dipilih putrinya?
Beberapa saat kemudian, apa yang ia tunggu akhirnya muncul. Dan benar saja. Mereka menunggu orang yang sama. Ia mengamati pemuda itu menghampiri putrinya, keduanya lantas berpelukan. Ia menggeram, “Berani sekali dia menyentuh putriku.” Lantas 2 orang itu pergi.
            Ia menyalakan mesin mobil, menutup jendela kaca mobilnya. Menunggu kemana arah pergi keduanya. Dari kaca spion, ia bisa melihat bahwa 2 orang yang menjadi obyek pengamatannya itu menuju sebuah halte bus. Dan ketika keduanya masuk ke dalam bus, segera ia mengikuti bus itu.
Sepertinya mereka tidak tahu siapa penumpang mobil mewah itu. Tidak ada kecurigaan sedikitpun. Dan saat bus berhenti di sebuah halte, ia menepikan mobilnya. Keduanya turun dari bus menuju jalanan yang mengarah ke rumahnya. Rumah Tuan Lee.
Pengemudi mobil itu mencengkeram kemudinya dengan kuat sampai buku-buku jarinya memutih. Jadi inikah yang dilakukan putrinya jika ia tidak ada di rumah? Beberapa saat kemudian, ia menjalankan mobilnya. Lantas berhenti di depan rumah tetangganya. Jika ia berhenti di depan rumahnya, putrinya akan curiga. Ia mengendap-endap di celah sempit di samping rumahnya. Celah itu menghubungkan dengan halaman belakang. Ia bersembunyi di sana saat melihat putrinya tengah bersama seorang pria.
“Jikyung, inikah perbuatanmu jika ayah tidak di rumah? Apa saja yang sudah kau lakukan bersama berandalan itu?”
            Tuan Lee menahan emosinya. Kedua tangannya mengepal. Rasanya ia ingin menghajar pemuda yang saat ini tengah mencium bibir putrinya itu.
“Kau dalam masalah besar, Jung Hoseok.”
===
            Hoseok menunggu Jikyung di tempat biasa. Ia mengirim pesan pada Jikyung bahwa ia sudah sampai di depan kampus. Pandangannya menerawang ke langit sore yang mulai berwarna jingga. Sudah pukul 4 sore. Ia menghela nafas sekali, lantas melihat sebuah mobil mewah yang berada di tepi jalan sana.
“Seandainya aku bisa menjemput Jikyung dengan mobil semewah itu.” gumamnya. Tak lama, Jikyung menghampirinya. Hoseok langsung mendapat sebuah pelukan yang erat
“Oppa, kau sudah lama menunggu?”
“Belum. Aku baru saja sampai.”
“Ayo kita pulang sekarang.”
Hoseok mengangguk. Ia mengangguk lantas menggenggam tangan Jikyung dan mengajaknya pergi dari sana. Seperti biasa, mereka berjalan menuju sebuah halte bus. Beberapa menit kemudian, sebuah bus datang dan keduanya langsung menaikinya.
“Oppa, bagaimana kalau kau ke rumahku terlebih dahulu?”
“Kau yakin?”
“Tentu saja. Memangnya kenapa?”
“Baiklah kalau begitu.”
            Jikyung menyandarkan kepalanya pada bahu Hoseok. Ssepanjang perjalanan, mereka tidak banyak bicara. Hanya suara degupan jantung Hoseok yang bisa Jikyung dengar dengan jelas. Dan itu membuatnya nyaman. Setelah sekitar 20 menit, bus yang mereka naiki berhenti di halte berikutnya.
Hosoek keluar dari bus terlebih dahulu lantas disusul oleh Jikyung. Mereka berjalan menuju rumah Jikyung. Langit sudah semakin berwarna jingga. “Jikyung, kapan ayahmu pulang?”
“Mungkin lusa. Ada apa oppa?”
“Tidak. Aku hanya khawatir ayahmu datang saat aku masih di rumahmu.”
“Aku akan menjelaskan pada ayah jika itu terjadi.”
            Hoseok mengusap kepala Jikyung. Keduanya menuju halaman belakang rumah besar itu. Jikyung ingin melihat sunset bersama dengan Hoseok. Di sana, ada beberapa bunga yang menggerombol di antara semak-semak. Hoseok memetiknya dan menyematkannya di sela-sela telinga Jikyung. “Kau sangat cantik, Jikyung.”
Jikyung hanya tersipu mendengar pujian dari Hoseok. Ia lantas menarik tangan Hoseok menuju sebuah pohon besar. Mereka berdiri di bawahnya menghadap matahari terbenam di cakrawala sana. Hoseok melingkarkan tangan kirinya di pinggang Jikyung yang ramping. Rumah Jikyung memang benar-benar rumah impian. Ayahnya sendiri yang mendesain rumah mewah itu. Halaman belakangnya sangat luas, ditumbuhi oleh rumput-rumput kecil. Ada sebuah jalan setapak yang terbuat dari batu granit.
            Tuan Lee adalah sosok perfeksionis yang mencintai panorama alam. Maka dari itu ia membangun rumahnya sedemikian rupa agar ia tetap bisa menikmati keindahan alam tanpa mengesampingkan sisi modern dan mewah. Dari sini bisa dilihat dengan jelas skyline kota Seoul dengan background matahari terbit atau terbenam.
“Kalau kita sudah menikah, aku akan membelikanmu salah satu dari itu.” ujar Hoseok sambil menunjuk sebuah gedung apartemen yang tampak jauh dari sini.
“Itu bangunan apartemen termahal di Seoul, oppa. Kau yakin akan menghamburkan uangmu hanya untuk membelikanku apartemen?”
“Sudah menjadi kewajibanku, Jikyung.”
“Oppa, aku tidak pernah meminta apa-apa darimu. Aku hanya meminta kau untuk tidak meninggalkanku. Itu sudah lebih dari cukup.”
“Mungkin saat ini kau belum meminta apapun. Tapi kelak jika kau menjadi istriku, dengarkan ini, Jikyung. Aku akan berusaha keras untuk memberikanmu apapun yang kau inginkan meskipun tanpa kau memintanya terlebih dahulu. Aku berjanji.”
“Terimakasih, oppa. Aku tahu kau adalah pria bertanggung jawab.”
            Jikyung menenggelamkan wajahnya pada dekapan Hoseok. Pria itu memeluknya dengan erat. “Aku mencintaimu, Jikyung.”
===
            Jikyung mengunci pintu kamarnya. Membalikkan badan dan melihat Hoseok tengah duduk di tepi tempat tidurnya. Pria itu tampak tenang menatap Jikyung yang datang mendekatinya. Lantas Jikyung duduk di samping Hoseok. Ia mengambil salah satu tangan Hoseok, menggenggamnya dengan erat.
“Oppa, buatlah malam ini berkesan.”
“Maksudmu?”
“Kalau ayahku pulang, kau tidak akan bisa melakukannya dengan mudah.”
“Memangnya kau ingin aku melakukan apa?”
            Tidak ada kata yang keluar dari mulut Jikyung. Gadis itu hanya menatap Hoseok.
“Astaga, Jikyung. Kau ingin aku melakukan hal itu padamu? Aku tidak mungkin bisa melakukannya. Aku mencintaimu bukan karena itu. Justru aku ingin melindungimu. Bukan merusakmu.”
“Maaf.”
            Jikyung mengusap matanya yang mulai basah. Ia menyesal telah menyuruh Hoseok melakukan hal gila seperti itu. “Apa yang kau pikirkan, Jikyung? Apa yang membuatmu sampai memintaku melakukannya?”
“Aku.. aku khawatir setelah ini, kita akan sulit untuk bertemu.”
“Bicara apa kau ini? Aku masih tetap akan menemuimu. Kau masih milikku, Jikyung.”
            Ucapan Hoseok menghangatkan hati Jikyung. Ia benar-benar khawatir jika ayahnya pulang, ia akan semakin dibatasi untuk bertemu Hoseok.
“Jangan menangis lagi. Um, kau punya eyeliner pensil?”
“Ada. Untuk apa?”
“Tolong ambilkan.”
            Jikyung mengerutkan keningnya. Ia mengambilkan apa yang diminta Hoseok. Sebuah eyeliner pensil warna hitam. Ia memberikannya pada Hoseok. Saat mengulurkan tangan, tiba-tiba Hoseok menariknya dan dengan cepat merebahkan tubunya sampai ia terbaring di atas tempat tidur. Belum hilang rasa terkejutya, kini Hoseok sudah berada di atasnya. Salah satu tangannya ia jadikan sebagai tumpuan. Kedua mata pria itu menusuk ke mata Jikyung.
“O.. oppa. Kau bilang tidak akan melakukannya. Tapi..”
“Aku memang tidak akan berbuat sejauh itu. Tapi aku tetap akan membuat malam ini berkesan.”
Sebuah ciuman diberikan Hoseok pada Jikyung. Jikyung membulatkan kedua matanya, karena Hoseok menciumnya secara tiba-tiba. Tapi sedetik kemudian, gadis itu mulai menyesuaikan diri. Ia menekan tengkuk Hoseok sekuat mungkin. Sementara Hoseok merengkuh wajah Jikyung. Menciumnya dengan sangat dalam. Setelah keduanya kehabisan nafas, Hoseok melepaskannya.
            Hoseok menyingkir dari atas tubuh Jikyung. Ia lantas mengambil eyeliner pensil dari saku celananya. Jikyung sedari tadi heran apa yang akan dilakukan Hoseok dengan eyeliner itu. Hoseok tersenyum dan meminta Jikyung untuk tiduran di pangkuannya.
“Untuk apa benda itu, oppa?” tanya Jikyung. Hoseok tidak menjawab. Yang ia lakukan hanya menyingkirkan rambut panjang Jikyung agar tidak menutupi leher. Ia lantas menulis sebuah kalimat di leher Jikyung dengan eyeliner itu.
I love you as much as I breath
“Giliranmu.” Ujar Hoseok sambil memberikan benda itu pada Jikyung. Jikyung menerimanya. Ia mengambil tangan kanan Hoseok dan menulis kalimat I love you di sana. Hoseok mengambil eyeliner itu dari tangan Jikyung. “Berikan telapak tanganmu.”
            Jikyung membuka telapak tangan kanannya. Hoseok kembali menuliskan kalimat, You’re mine forever. Jikyung tersenyum manis. Dengan lembut, Hoseok mengusap kepala Jikyung. Ia lantas menurunkan kepalanya. Mendekatkan wajahnya dengan wajah Jikyung dan kembali menciumnya.
===
Jikyung menundukkan kepalanya. Ia tidak menyangka ayahnya akan pulang hari ini. Menurut jadwal, seharusnya Tuan Lee pulang besok siang. Tapi kini ia sudah di rumah. Jikyung merasa lega karena Hoseok sudah pergi tadi pukul 6 pagi. Semalam Hoseok kembali menginap di rumahnya.
“Kenapa ayah pulang lebih awal?” tanya Jikyung pelan.
“Kau ingin ayah pergi lebih lama?”
“Bu.. bukan begitu. Hanya saja, kemarin ayah bilang akan pergi selama 2 hari.”
            Tuan Lee menatap Jikyung dengan tajam. Ia mendengus pelan. Tentu saja ia tidak benar-benar ke luar kota seperti yang ia katakan pada putrinya. Hanya ingin melihat apa yang dilakukan Jikyung jika ia tidak di rumah dan apa yang ia duga selama ini memang benar. Putrinya terus berduaan bersama penari jalanan itu.
“Kalau ayah pergi selama lebih dari satu hari, ayah tidak tahu apa yang akan kau lakukan bersama berandalan itu. Bisa saja dia sudah mengajakmu tidur bersama.”
            Nafas Jikyung terasa berhenti. Ia dan Hoseok memang sudah tidur bersama. Tapi mereka tidak pernah berhubungan sejauh yang ayahnya duga.
“Hoseok bukan pria seperti itu.” sanggah Jikyung. Tuan Lee diam saja dan tiba-tiba sesuatu menarik perhatiannya.
“Apa ini?” gumamnya sambil menyingkapkan rambut Jikyung sehingga lehernya tampak jelas. Tuan Lee tertegun membaca tulisan di leher Jikyung. Lantas ia mengambil telapak tangan Jikyung dan kembali menemukan kalimat bernada rayuan di sana.
“Siapa yang melakukan ini?” tanya Tuan Lee dengan suara dingin. Jikyung menatap ayahnya. Kedua matanya berkaca-kaca. Ia merutuki dirinya sendiri karena tidak menghapus tulisan itu dari tubuhnya.
“Ayah..”
“Apa yang sudah berandalan itu lakukan padamu, Jikyung? Apakah dia sudah merusakmu?”
“Tidak, ayah. Hoseok tidak melakukan apa-apa padaku. Dia pria yang baik. Berhentilah membencinya.”
“Masuk ke kamarmu! Kau dilarang keluar rumah selama satu minggu.”
            Jikyung membelalakkan matanya. “Ayah, apa maksud ayah? Bagaimana dengan kuliahku?”
“Ayah akan meminta ijin pada dosenmu. Sekarang cepat masuklah ke kamar!”
            Tuan Lee benar-benar marah. Apalagi tadi ia juga melihat beberapa bercak ungu pekat pada bahu putrinya. Jikyung membalikkan badan, berlari menuju kamarnya dan membanting pintu. Ayahnya sudah keterlaluan. Bisakah ia berhenti menyebut Hoseok sebagai berandalan?
Dan sekarang ia dikurung selama satu minggu. Ia tidak bisa bertemu Hoseok. Apa yang ia khawatirkan semalam benar-benar terjadi. Jikyung mengambil ponselnya dan menelpon Hoseok.
“Ada apa, Jikyung?”
“Oppa. Ayahku sudah pulang?”
“Bukankah seharusnya lusa?”
“Dan sekarang aku dikurung selama satu minggu.”
“Apa?”
“Bawa aku kabur, oppa.”
“Jikyung–“
“Kumohon. Bawa aku pergi dari sini. Kemana saja aku tidak peduli.”
“Jikyung, dengar. Kau akan baik-baik saja. Aku akan bicara dengan ayahmu.”
“Tidak, oppa. Dia membencimu. Dia akan menghabisimu jika kau menemuinya.”
“Itu tidak akan terjadi. Percayalah.”
“Oppa…”
            Sambungan telepon diputus. Jikyung menghela nafas dengan keras. Apa yang harus ia lakukan?
===
            Hoseok menghentikan mobilnya di depan halaman rumah Jikyung. Ia meminjam mobil kakaknya. Gerbang rumah mewah itu terkunci rapat. Hoseok lantas menekan bel rumah itu. Setelah beberapa kali mencoba menekan, akhirnya gerbang terbuka. Ia nyaris membelalakkan mata saat melihat yang membukakan adalah Tuan Lee.
“Selamat sore, Tuan Lee. Boleh saya bertemu Jikyung?” tanya Hoseok setelah membungkukkan badan. Tapi Tuan Lee diam saja. Pria bertubuh besar itu bahkan tidak melepaskan kacamata hitamnya.
“Dengar nak,” Tuan Lee angkat bicara. Ia lantas melepas kacamata hitam yang dipakainya. “Putriku adalah segalanya untukku. Aku membutuhkannya sebanyak dia membutuhkanku. Dia gadis yang rapuh, ibunya sudah lama meninggal. Aku memberitahumu, dia butuh seseorang yang benar-benar bisa melindungi dan menjaganya. Seorang pria sejati. Bukan berandalan sepertimu.”
“Aku mencintainya, Tuan.”
“Asal kau tahu, cinta saja tidak cukup dalam suatu hubungan. Kau tidak bisa memberi makan Jikyung hanya dengan cinta. Mungkin saat ini kau merasa yakin kalau cintamu bisa membahagiakannya. Tapi apa kau masih yakin dengan cintamu itu untuk 5 tahun yang akan datang? Maksudku, kau yakin tidak akan meninggalkan Jikyung?”
“Kau tidak tahu bagaimana kami.”
“Aku bahkan tidak tahu dirimu. Jadi mulai sekarang, menjauhlah dari Jikyung.”
“Saya tidak bisa.”
“Oh, ingat satu hal. Jika suatu saat kau meninggalkannya untuk gadis lain, menghancurkan hatinya, kau benar-benar dalam masalah besar. Jadi sebelum Jikyung jatuh terlalu jauh padamu, lebih baik kau meninggalkannya sekarang. Itu akan lebih baik.”
“Itu akan menyakitinya.”
“Aku hanya memberitahumu, kau tidak akan bertemu Jikyung lagi. Jangan dekati Jikyung, jangan pernah berani atau mencoba membawanya pergi, kabur dariku. Kalau kau berani melakukannya, kau akan mendapat akibat yang fatal, Jung Hoseok.”
“Tuan Lee, dengarkan–“
“Selamat sore.”
            Pintu gerbang besar itu menutup. Hoseok tidak mencoba untuk menyusul ke dalam. Akhirnya ia hanya membalikkan badan lantas pergi dari rumah Jikyung.
===
            Jam digital di atas meja belajar Jikyung menunjukkan pukul 10 malam. Tapi Jikyung belum juga tidur. Matanya sembab oleh air mata yang terus ia keluarkan. Ia melihat tadi sore ayahnya bertemu dengan Hoseok. Memang tidak ada keributan, tapi Jikyung yakin ayahnya mengatakan jika Hoseok tidak akan bisa bertemu dirinya lagi.
Yang semakin membuatnya gelisah, Hoseok tidak menjawab teleponnya. Pria itu juga tidak membalas puluhan pesan yang dikirim Jikyung. Ayahnya mengunci kamarnya dari luar. Saat tiba jam makan, Tuan Lee sendiri yang mengantarkan makanan, lantas kembali mengurung Jikyung.
            Gadis itu menenggelamkan wajahnya di bantal. Kedua matanya terpejam, tapi ia tidak tidur. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Jikyung langsung mengambil ponselnya yang ada di atas meja. Ada pesan masuk dari Hoseok.
“Aku akan menjemputmu sekarang.”
            Jikyung mengerutkan keningnya. “Memangnya kita akan kemana?”
“Pakailah baju hangat atau sweater. Aku ke rumahmu sekarang.”
Antara percaya dan tidak, Jikyung bingung dengan isi pesan Hoseok. Apakah Hoseok akan membawanya kabur? Jikyung lantas beranjak turun dari tempat tidurnya. Ia membuka almari pakaian dan mengeluarkan sebuah jaket. Sambil memakainya, pikiran Jikyung terus berkecamuk. Haruskah ia kabur bersama Hoseok? Ia ingin melakukannya. Tapi bagaimana jika ayahnya tahu?
“Ya Tuhan, aku harus bagaimana?”  gumam Jikyung. Akhirnya ia memutuskan, ia akan pergi bersama Hoseok.
            Sekitar 15 menit kemudian, Hoseok mengirim pesan kalau ia sudah menunggu di bawah. Jikyung melihat dari jendela kamarnya, ada sebuah mobil terparkir agak jauh dari rumahnya. Tapi ia tidak melihat Hoseok. Akhirnya Jikyung menelpon kekasihnya itu.
“Oppa, kau dimana?”
“Aku di mobil. Kau lihat mobil hitam?”
“Aku melihatnya. Tapi aku tidak bisa keluar. Ayah mengunci pintu kamarku.”
“Tunggu sebentar.”
            Setelah itu sambungan telepon terputus. Jikyung panik memikirkan apa yang akan dilakukan Hoseok setelah ini. Dan Jikyung berharap agar Hoseok bergerak cepat sebelum ketahuan oleh ayahnya. 5 menit kemudian ia dikejutkan oleh ketukan jendela kamarnya. Jikyung menghampiri sosok di sana dan ternyata itu adalah Hoseok. Jikyung membuka jendela kamarnya.
“Oppa, bagaimana caranya kau…”
“Itu tidak penting. Ayo kita pergi sekarang.”
            Jikyung menggenggam tangan Hoseok yang terulur padanya. Lantas ia melangkahkan kakinya melalui jendela kamar. Dengan hati-hati, ia dan Hoseok melangkahkan kaki mengitari atap rumah. Saat sampai di atas halaman belakang, “Naiklah ke punggungku.”
“Apa?”
“Cepatlah, Jikyung. Kita tidak punya banyak waktu.
            Jikyung mengangguk dan naik ke punggung Hoseok. Pria itu berjalan menuruni atap. Ia nyaris terpeleset, namun salah satu tangannya ia pakai untuk berpegangan pada tembok.
“Jikyung, aku minta maaf kalau ini akan menyakitimu. Tapi aku akan melompat ke bawah.”
“A.. apa? Oppa, jangan gila!”
“Kita tidak bisa kalau tidak lompat. Jangan lepas dari punggungku. Peluk erat-erat. Aku akan berusaha lompat tanpa menyakitimu.”
            Jikyung mepererat pelukannya pada tubuh Hoseok dan memejamkan matanya rapat-rapat. Hoseok menghela nafas sekali, lantas dengan yakin ia melompat dari atap rumah Jikyung setinggi 6 meter itu. Mereka mendarat di halaman belakang, di atas rerumputan. Tubuh Jikyung menindihi tubuh Hoseok. Lantas keduanya segera berlari, melewati celah kecil yang mengarah ke jalan di luar. Saat sampai di depan mobil, Hoseok membukakan pintu untuk Jikyung dan menyuruhnya utuk masuk terlebih dahulu.
Begitu Jikyung sudah memakai safety belt, Hoseok menyusulnya dari sisi sebelah kiri. Ia menyalakan mesin mobil. “Jikyung, kau yakin ingin melakukan ini?” tanya Hoseok sambil menatap Jikyung. Jikyung tidak langsung menjawab. Ia beberapa kali tampak menghela nafas.
“Kalau kau tidak yakin, aku tidak akan memaksamu. Aku akan mengantarmu masuk.”
“Ya. Aku yakin.”
            Hoseok mengangguk. Ia menyalakan mesin mobil dan menjalankannya. Sesekali Hoseok melirik spion, waspada jika ayah Jikyung menyusulnya.
“Oppa, kita akan kemana?”
“Aku tidak tahu. Yang jelas kita akan pergi jauh.”
“Aku takut ayah menangkapmu.”
Hoseok diam saja karena ia juga mengkhawatirkan hal yang sama. “Kita akan ke stasiun.”
===
            Tuan Lee terkejut saat tidak mendapati Jikyung di kamarnya. Ia juga melihat jendela kamar Jikyung terbuka. Melihat ke bawah, ia yakin pasti Jikyung kabur dengan melompat dari sini. Tapi itu agak mustahil karena Jikyung takut dengan ketinggian. Pasti ada seseorang yang membantu Jikyung. “Jung Hoseok..” itu adalah kata-kata yang pertama kali meluncur dari mulut Tuan Lee. Ia yakin berandalan itu telah membawa kabur putrinya.
Akhirnya ia segera turun menuju garasi dan menyalakan mobil. Ia tidak tahu harus mencari Jikyung kemana. Ponsel putrinya juga mati. Ia berputar-putar di jalan-jalan besar Seoul, melewati kampus Jikyung, beberapa taman sampai tempat-tempat sepi tapi tidak juga berhasil menemukan putrinya.
            Lantas tiba-tiba ia terpikir untuk menuju stasiun. Entah apa yang membuatnya memikirkan untuk pergi ke sana. Meskipun kemungkinannya sangat kecil, tapi Tuan Lee tetap memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Jalanan sudah mulai sepi, sehingga ia bisa dengan mudah mendahului beberapa mobil yang ada di depannya. Dan saat berada di samping sebuah mobil sedan warna hitam, ia melihat di dalamnya ada sosok Jikyung. Tuan Lee membelalakkan matanya. “Jikyung!”
            Sepertinya, seseorang di dalam sedan hitam itu menyadari adanya mobil Tuan Lee. Dan seketika mobil itu mendahului mobilnya. Tuan Lee memukul kemudinya dengan kesal. Dan aksi kejar-kejaranpun tak terhindarkan.
===
            Jikyung terkejut ketika melihat mobil ayahnya kini berjalan di samping mobil Hoseok. Ia menyerukan pada Hoseok agar lebih cepat. Hoseok menoleh dan benar, mobil Tuan Lee tengah berpacu di samping mobilnya. Hoseok menginjak pedal gasnya dalam-dalam. Mobilnya melaju lebih cepat menembus gelapnya malam kota Seoul. Ia panik. Tahu kalau apa yang ia perbuat saat ini penuh dengan resiko. Tapi apapun itu, Hoseok akan menembus semua resiko untuk satu hal. Bersama Jikyung adalah satu-satunya hal yang ada di kepalanya saat ini.
Nafas Hoseok terasa ringan. Semakin cepat ia melajukan mobilnya. Ada sebuah adrenaline yang melingkupi dadanya. Dan tiba-tiba saja semua rasa takutnya pada Tuan Lee menghilang. Ia akan menghadapi pria itu. Memperjuangkan perasaannya pada Jikyung. Dan Hoseok menekan remnya saat tiba-tiba mobil Tuan Lee berhenti di depan mobilnya. Jikyung dan Hoseok terpaku, menatap lurus seseorang yang perlahan keluar dari mobil mewah itu.
“Kau jangan khawatir, Jikyung. Aku akan mengatasi semuanya.” Ujar Hoseok sambil menggenggam tangan Jikyung. Ia tahu gadisnya tengah gugup luar biasa karena ia juga begitu.
“Oppa, jangan turun.” Pinta Jikyung. Tapi Hoseok hanya tersenyum. Dari sini keduanya bisa melihat amarah yang terpancar dari ekspresi dingin Tuan Lee. Dan Jikyung bersumpah itu adalah ekspresi paling mengerikan yang pernah ia lihat dari ayahnya.
            Tuan Lee berdiri di depan mobil Hoseok. Hoseok tahu Tuan Lee ingin bicara padanya. Jadi ia melepas safety beltnya, dan saat akan membuka pintu, “Oppa.” Jikyung mencegahnya. Tapi Hoseok melepas genggaman tangan Jikyung. Dengan yakin ia turun, berdiri di hadapan Tuan Lee. Jikyung hanya melihat dari dalam.
Suasana stasiun sudah agak sepi. Sebenarnya mereka berada beberapa puluh meter jauh dari gerbang stasiun. Tidak ada yang melihat mereka. Hoseok membungkukkan badannya, memberikan hormat pada pria di depannya. Tuan Lee hanya menanggapinya dengan melipat kedua tangan di dada.
            Hoseok mengangkat kepalanya, memberanikan diri menatap Tuan Lee.
“Kau lupa dengan apa yang aku katakan tadi?” tanya Tuan Lee.
“Saya masih mengingatnya.”
“Lantas kenapa kau melakukan apa yang aku larang?”
“Saya sudah mengatakan jika saya mencintai Jikyung.”
“Kau sadar? Aku bisa menyeretmu ke kantor polisi karena kau sudah membawa lari putriku. Kau benar-benar seorang berandalan, Jung Hoseok.”
            Sebuah pukulan lantas dilayangkan Tuan Lee ke wajah Hoseok. Hal itu membuat Hoseok terhuyung sekali, kemudian ia kembali menerima pukulan keras di matanya. Ia jatuh tersungkur. Secara brutal, Tuan Lee menghujaninya dengan pukulan dan tinju di sekujur wajahnya. Jikyung bergegas turun dari dalam mobil. Ia mencegah ayahnya menghajar Hoseok.
“Ayah! Hentikan! Kau bisa membunuh Hoseok oppa!”
“Aku memang akan membunuhnya, Jikyung.”
“Kumohon hentikan!”
            Tuan Lee mencengkeram kerah baju Hoseok lantas mengangkatnya agar Hoseok berdiri. Wajah Hoseok sudah penuh dengan memar dan darah. Dengan berapi-api, Tuan Lee kembali melayangkan tinju di antara bibir dan hidung Hoseok. Darah langsung keluar dari hidung Hoseok. Pria muda itu kembali tersungkur.
            Dan kesempatan ini digunakan Tuan Lee untuk menarik Jikyung pulang. Jikyung menolak, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman ayahnya. Tapi Jikyung terlalu lemah untuk berontak. Ia hanya bisa memanggil-manggil nama Hoseok, meminta pria itu membantunya melepaskan diri dari sang ayah. Tapi Hoseok tidak bisa.
Samar-samar ia melihat Jikyung dipaksa ayahnya masuk ke dalam mobil. Hoseok mencoba untuk berdiri namun kedua kakinya terlalu sakit karena saat ia tersungkur tadi, ia juga merasa sebuah tendangan di kakinya.
“Jikyung…” gumamnya. Darah masih mengalir dari mulut dan hidungnya. Lantas ia mendengar deru mesin mobil dan sorotan lampu menerobos matanya. Lama-kelamaan cahaya itu menghilang. Hoseok masih tersungkur pada tempatnya. Kedua matanya susah untuk dibuka karena memar-memar dan luka.
Hoseok tebatuk-batuk, memegang dadanya yang terasa sakit. Akhirnya ia memutuskan untuk tidak berusaha bangun. Ia menatap langit malam yang nampak samar oleh matanya. Air mata meleleh membasahi pipinya. Beginikah caranya berakhir dengan Jikyung? Mengapa ia begitu bodoh dan lemah?
“Maafkan aku, Jikyung. Aku memang tidak akan pernah bisa menembus batas itu. Batas yang dibuat oleh ayahmu. Terlalu sulit. Tapi satu hal yang perlu kau tahu, sayang. Aku akan selalu mencintaimu. Meskipun membuktikan pada ayahmu bahwa aku mencintaimu adalah hal tersulit dalam hidupku, aku tidak apa-apa. Kalaupun suatu saat kau bahagia tanpa aku, aku akan membiarkannya. Menatapmu bahagia bersama orang lain. Bahagiamu adalah kebahagiaanku juga.”
            Hoseok memejamkan matanya. Merasakan belaian angin malam yang membuat wajahnya terasa kaku. Berharap ada seseorang yang bisa menolongnya untuk mengantarnya pulang. Tapi jika ia harus mati di sini, saat ini, ia tidak apa-apa. Setidaknya ia ingin satu hal. Melihat senyuman Jikyung yang terakhir kalinya.

===END===

From author :
Hai readers! Dobibee posting fanfiction terbaru. Sebenernya ini sebuah songfict. Inspired by Justin Bieber – As long as you love me. Author coba mengembangkan ceritanya dengan versi author sendiri. Tapi inti lagunya tetep ada. Dan author ambil beberapa plot di sini dari scene di mvnya JB sendiri.
Dan… author pilih Jung Hoseok / J-Hope BTS sebagai main character di sini soalnya emang cucok banget. Dia kan main dancer di BTS, terus stylenya dia juga pas. Oke mungkin watak aslinya J-Hope emang gila dan bisa dikatakan idiot, beda 180 derajat dari tokoh di sini. Tapi tolong abaikan watak aslinya dia wkwk.
Cerita ini milik author, para cast milik diri mereka sendiri. Cuma pinjem aja haha. Kalau ada kesamaan nama tokoh, cerita, alur dsb harap maklum. Tapi ini murni dari pemikiran author. Jangan dijiplak, jangan disadur, jangan repost tanpa ijin. Kalau ada yang plagiatin atau repost tanpa ijin = ILEGAL. Terimakasih. 

0 komentar:

Posting Komentar